Pemanfaatan teknologi seperti
kecerdasan artifisial (AI), mahadata (big data), dan Internet of
Things (IoT) makin mendominasi berbagai sektor. Digitalisasi telah mengubah
cara manusia bekerja, berkomunikasi, dan memecahkan masalah. Agar setiap anak
memiliki kesempatan yang sama untuk menghadapi tantangan ini, sistem pendidikan
perlu memastikan bahwa literasi digital, termasuk pembelajaran koding dan
kecerdasan artifisial, menjadi bagian dari kurikulum. Dengan demikian, pendidikan
yang bermutu dapat diakses oleh semua peserta didik, tanpa terbatas pada
daerah atau latar belakang tertentu.
Berpikir komputasional
mengajarkan peserta didik untuk menyelesaikan masalah secara sistematis dan
efisien dengan melakukan proses dekomposisi (memecah masalah besar menjadi
bagian kecil), dan pengenalan pola, abstraksi, serta algoritma yang membantu
peserta didik memahami dan menangani tantangan digital. Dengan ekosistem
pembelajaran yang inklusif dan berkeadilan, pendidikan di Indonesia diharapkan
tidak hanya mampu mencetak generasi yang berdaya saing tinggi, tetapi juga
memastikan bahwa tidak ada anak yang tertinggal dalam memperoleh akses
pendidikan berkualitas.
Konsep
Koding dan Kecerdasan Artifisial
Sebelum
membahas lebih mendalam mengenai pembelajaran koding dan KA, kita perlu
mendefinisikan beberapa konsep kunci yang terkait, yaitu berpikir
komputasional, pemrograman, koding, dan kecerdasan artifisial.
Berpikir komputasional merupakan sikap dan
keterampilan yang dapat diterapkan secara universal, serta dapat dipelajari dan
digunakan oleh semua orang yang ingin belajar dan menggunakannya. Berpikir
komputasional dilakukan melalui dekomposisi, yaitu memecah masalah besar
menjadi bagian-bagian kecil yang lebih mudah dikelola dan diselesaikan;
pengenalan pola atau kemiripan dalam data atau masalah sehingga dapat digunakan
untuk menemukan solusi yang serupa dalam situasi lain; abstraksi dengan cara
menyaring informasi yang relevan dan penting; dan berpikir algoritmik dengan
menyusun langkah-langkah logis untuk menyelesaikan masalah. Berpikir komputasional merupakan proses berpikir yang
digunakan untuk menghasilkan solusi dengan langkah-langkah komputasi yang dapat
meningkatkan kemampuan analisis seseorang. Solusi tersebut dapat
dilanjutkan dengan tindakan komputasional (computational acting) berupa
penggunaan teknologi atau pemrograman.
Pemrograman adalah proses merancang,
menulis, dan menguji kode yang digunakan untuk mengembangkan perangkat lunak
dan aplikasi komputer. Pemrograman mencakup aspek logika, algoritma, serta
struktur data untuk menyelesaikan masalah tertentu.
Koding merupakan tindakan dalam
menerjemahkan keinginan (intentions) manusia ke dalam format yang dapat
dimengerti komputer melalui bahasa pemrograman. Koding juga mengacu pada
salah satu praktik pemrograman atau pemberian instruksi kepada komputer
(misalnya, robot, chip, perangkat kecil), yang menerapkan solusi yang
dikembangkan melalui pemikiran komputasi. Walaupun pemrograman dan
koding memiliki cakupan yang berbeda, namun dalam beberapa artikel pembelajaran
koding untuk sekolah, dua istilah tersebut sering digunakan bergantian dan
dilihat sebagai sinonim.
Pembelajaran
koding dapat dilakukan dengan beberapa metode, seperti plugged coding
yang menggunakan perangkat komputer dan perangkat lunak; unplugged coding
yang mengajarkan konsep pemrograman tanpa menggunakan komputer melalui
aktivitas fisik atau game; dan internet-based coding yang memungkinkan
pembelajaran melalui platform daring interaktif melalui koneksi internet. Berdasarkan konsep tersebut, maka koding dapat dipahami
sebagai praktik pemrograman perangkat komputasi dengan melibatkan kemampuan
berpikir komputasional dan algoritma secara internet-based, plugged,
dan unplugged.
Para ahli
mendefinisikan KA secara berbeda-beda, tergantung dari sudut pandang
masing-masing. Ada yang mendefinisikan KA sebagai kemampuan sistem untuk dapat
menginterpretasikan data eksternal dengan benar, belajar dari data tersebut,
dan menggunakan pembelajaran tersebut untuk mencapai tujuan dan tugas tertentu.
KA dipahami sebagai bidang studi yang mempelajari sintesis dan analisis dari
agen komputasional (computational agent) yang dapat bertindak secara cerdas. Selanjutnya
KA juga didefeniskan sebagai studi mengenai agen cerdas yang dapat menerima
persepsi lingkungan dan melakukan tindakan. Agen dapat berpikir seperti manusia
(thinking humanly), bertindak seperti manusia (acting humanly),
berpikir rasional (thinking rationally), dan bertindak rasional (acting
rationally). Dalam hal ini, kecerdasan artifisial merujuk kepada bidang
dalam ilmu komputer yang berfokus pada pengembangan sistem yang mampu menjalankan
tugas-tugas yang biasanya membutuhkan kecerdasan manusia, seperti pengenalan
pola, pengambilan keputusan, dan pemrosesan bahasa alami.
Dalam konteks pendidikan, KA diposisikan sebagai sistem
atau teknologi yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran.
Dalam proses pembelajaran, KA dapat digunakan untuk personalisasi sesuai
kebutuhan belajar peserta didik. Namun, selain diposisikan sebagai teknologi
pendukung, pemahaman, pemanfaatan, dan pengembangan KA dapat diposisikan
sebagai materi pembelajaran pada berbagai jenjang pendidikan.
Pembelajaran Koding dan KA akan dijelaskan pada bagian berikut.
Urgensi integrasi Koding dan KA
dalam pendidikan makin meningkat seiring dengan perkembangan Industri 4.0 dan
5.0, yang menuntut sumber daya manusia unggul dengan pemahaman dan keterampilan
digital yang kuat. Tanpa literasi digital dan kemampuan di bidang teknologi
digital yang memadai, generasi muda akan menghadapi kesulitan dalam bersaing di
dunia kerja yang makin berbasis teknologi. Oleh karena itu, integrasi Koding
dan KA dalam kurikulum sekolah bukan sekadar inovasi, melainkan kebutuhan
fundamental dalam membangun sumber daya manusia yang unggul dan adaptif
terhadap perubahan zaman.
Pemerintah, sekolah, industri,
dan masyarakat perlu bersinergi dalam menciptakan ekosistem pendidikan yang
kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan keterampilan sehingga banga
Indonesia tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga produsen inovasi
yang mampu bersaing di tingkat global.
Pembelajaran koding dan KA tidak
hanya meningkatkan literasi digital, tetapi juga membangun keterampilan
berpikir kritis, kreatif, kolaboratif, dan pemecahan masalah—keterampilan
esensial dalam dunia yang terus berubah. Pendidikan yang bermutu harus
memberikan kesempatan bagi semua peserta didik, baik di perkotaan maupun di
daerah terpencil, untuk memahami prinsip dasar teknologi dan menggunakannya
sebagai alat pemberdayaan. Dengan demikian, mereka tidak hanya menjadi pengguna
teknologi, tetapi juga dapat berperan sebagai inovator yang menciptakan solusi
bagi tantangan di sekitar mereka.
Namun, pendidikan yang
berkualitas tidak hanya berfokus pada penguasaan teknologi, tetapi juga pada
kesadaran etis dalam penggunaannya. KA dan sistem otomatisasi membawa tantangan
tersendiri, seperti keamanan data, bias algoritma, dan dampak sosial yang lebih
luas. Oleh karena itu, pembelajaran koding dan KA perlu dilengkapi dengan pendidikan
etika digital sehingga peserta didik tidak hanya memiliki keterampilan
teknis, tetapi juga pemahaman kritis dalam mengembangkan dan menerapkan teknologi
secara bertanggung jawab. Dengan pendekatan ini, pendidikan bermutu benar-benar
dapat diakses oleh semua, membekali setiap anak dengan kemampuan untuk bersaing
dan berkontribusi dalam dunia yang makin terdigitalisasi.
Arah kebijakan pembelajaran Koding
dan KA dirancang untuk mempersiapkan peserta didik menghadapi tantangan era
digital. Kurikulum Koding dan KA dikembangkan berdasarkan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2003, yang menekankan penyesuaian dengan kebutuhan peserta didik,
perkembangan zaman, dan tujuan pendidikan. Kurikulum ini mencakup kompetensi
yang harus dikuasai peserta didik di setiap jenjang, mulai dari SD hingga
SMA/SMK, dengan fokus pada berpikir komputasional, literasi digital, algoritma
pemrograman, analisis data, dan etika KA. Pembelajaran Koding dan KA dapat
diterapkan melalui intrakurikuler, kokurikuler, atau ekstrakurikuler, dengan
mempertimbangkan aspek teknis, ekonomis, dan politis.
Pembelajaran Koding dan KA
bertujuan untuk mengembangkan kompetensi peserta didik sesuai tahapan
perkembangannya. Referensi seperti UNESCO ICT Competency Framework for Teachers
(2018), CSTA K-12 Computer Science Standards (2017), dan UNESCO AI Competency
Framework for Students (2024) menjadi dasar pengembangan kurikulum.
Tahapan penguasaan kompetensi dibagi berdasarkan jenjang pendidikan, mulai dari kemampuan dasar, seperti pemecahan masalah sehari-hari di SD, hingga pembuatan program berbasis teks dan aplikasi KA di SMA/SMK. Penerapan pembelajaran Koding dan KA dapat dilakukan melalui beberapa opsi, yaitu sebagai mata pelajaran wajib, mata pelajaran pilihan, atau terintegrasi dengan mata pelajaran lain. Setiap opsi memiliki pertimbangan tersendiri, seperti ketersediaan guru, sarana prasarana, dan beban belajar peserta didik.
Pembelajaran Koding dan KA dapat
menggunakan berbagai metode, seperti pembelajaran berbasis masalah (problem-based
learning), pembelajaran berbasis projek (project-base learning),
pembelajaran inkuiri dan gamifikasi melalui pendekatan internet-based, plugged,
dan unplugged. Media pembelajaran yang digunakan meliputi perangkat
digital (komputer, laptop), platform digital, modul interaktif, serta alat
nondigital seperti kartu dan papan. Kualifikasi dan kompetensi guru juga
menjadi faktor penting, di mana guru perlu menguasai kompetensi profesional,
pedagogik, kepribadian, dan sosial untuk mengajar Koding dan KA secara efektif.
Contoh Masalah Koding dan KA pada
Pembelajaran Berbasis Masalah:
Contoh Projek Koding dan KA pada
Pembelajaran Berbasis Projek:
Lebih jauh, pembelajaran koding juga erat kaitannya dengan konsep computational, konsep ini melatih peserta didik dalam berpikir sistematis melalui teknik decomposition, yaitu memecah masalah besar menjadi bagian kecil, pattern recognition untuk mengenali pola dalam data, abstraction dalam menyaring informasi penting, serta algorithmic thinking yang memungkinkan mereka menyusun solusi dalam langkah-langkah yang logis dan efisien. Dengan menerapkan computational thinking, peserta didik tidak hanya belajar cara membuat kode, tetapi juga memahami cara berpikir yang dapat diterapkan dalam berbagai disiplin ilmu, seperti sains, ekonomi, dan bahkan seni.
Di samping itu, teori
konektivisme makin memperkuat relevansi pembelajaran KA, karena teknologi
berbasis data memungkinkan peserta didik untuk belajar dari berbagai sumber
digital. Melalui konektivisme, peserta didik dapat berkolaborasi secara global
melalui komunitas open-source, platform pembelajaran daring, serta
jaringan profesional yang mempercepat transfer pengetahuan. Kemampuan ini
sangat dibutuhkan dalam era digital yang terus berkembang, terutama dalam
membangun keterampilan 6C (Character, Citizenship, Critical Thinking,
Creativity, Collaboration, Communication), yang menjadi kompetensi utama
abad ke-21.
Dalam konteks Kurikulum Merdeka, Koding
dan KA juga memungkinkan penerapan pembelajaran berdiferensiasi, di mana
peserta didik dapat belajar sesuai dengan minat dan kemampuan mereka
masingmasing. Hal ini memberikan fleksibilitas dalam pengajaran dan membantu
peserta didik menemukan potensi terbaik mereka dalam bidang teknologi. Dengan
demikian, pembelajaran koding dan KA tidak hanya membekali peserta didik dengan
keterampilan teknis, tetapi juga membentuk pola pikir yang kritis, kreatif, dan
adaptif dalam menghadapi tantangan masa depan.
Implementasi kebijakan
pembelajaran Koding dan KA dilakukan secara bertahap, dimulai dari sekolah-sekolah
yang memiliki kesiapan infrastruktur dan tenaga pengajar. Program bimbingan teknis
(bimtek) dan pelatihan guru diselenggarakan untuk meningkatkan kapasitas guru
dalam mengajar Koding dan KA. Kemitraan multi-stakeholders melibatkan
pemerintah, dunia industri, akademisi, komunitas, dan NGO/LSM untuk mendukung
implementasi kebijakan ini.
Pemantauan dan evaluasi dilakukan
untuk menilai proses implementasi dan dampak kebijakan, dengan tujuan
memastikan peningkatan kemampuan berpikir kritis dan komputasional peserta didik.
Dengan sinergi antara berbagai pihak, pembelajaran Koding dan KA diharapkan
dapat menciptakan generasi muda yang siap menghadapi era digital dan Industri
4.0 serta Masyarakat 5.0.
Evaluasi
pembelajaran adalah proses mengumpulkan informasi tentang pencapaian hasil
belajar peserta didik untuk mengukur sejauh mana tujuan pembelajaran telah
tercapai dan memberikan umpan balik yang berguna dalam perbaikan proses
pembelajaran. Evaluasi pembelajaran Koding dan KA dilaksanakan guna melakukan
perbaikan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran berdasarkan capaian belajar
peserta didik.
Evaluasi dapat dilaksanakan oleh guru,
kepala satuan pendidikan, dan peserta didik. Evaluasi oleh guru dapat
dilaksanakan dengan pengamatan proses pembelajaran, diskusi sesama guru, dan
analisis hasil penilaian hasil belajar peserta didik. Penilaian hasil belajar
peserta didik berupa penilaian autentik direkomendasikan guna memberikan
gambaran nyata kemampuan peserta didik. Jika penilaian hasil belajar peserta
didik diselenggarakan melalui uji kompetensi atau sertifikasi, maka
keberhasilan peserta didik mendapatkan sertifikat kompetensi dapat dijadikan
pertimbangan dalam evaluasi pembelajaran. Evaluasi oleh kepala satuan
pendidikan dapat dilaksanakan melalui supervisi akademik, manajerial, klinis,
dan evaluatif terhadap kegiatan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran.
Evaluasi oleh peserta didik dapat dilaksanakan dalam bentuk refleksi kegiatan
pembelajaran.
Dasar
Pertimbangan Penentuan Pilihan Pembelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial
Perlu
menjadi perhatian dan pertimbangan sekolah dalam melaksanakan pilihan dalam
menerapkan pembelajaran koding dan kecerdasan artifisial adalah sebagai
berikut.
1. Ketersediaan
Guru Pengampu. Pada jenjang SMP dan SMA/SMK, guru pengampu Koding dan
Kecerdasan Artifisial besar kemungkinannya sudah tersedia, mengingat saat ini
telah ada mata pelajaran Informatika pada struktur kurikulum. Namun untuk
jenjang SD akan menjadi kendala. Meskipun begitu, materi tentang kecerdasan
artifisial merupakan hal baru yang perlu dieksplorasi dan dilatihkan pada guru
Informatika.
2. Ketersediaan
Sarana dan Prasarana. Pembelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial
idealnya memerlukan sarana dan prasarana TIK (utamanya komputer dan internet)
yang mumpuni. Saat ini belum semua sekolah (utamanya SD) memiliki sarana dan
prasarana TIK yang ideal untuk melayani seluruh peserta didiknya. Satuan
pendidikan perlu menyediakan sarana dan prasarana pendukung, khususnya bagi
sekolah yang belum memiliki sarana dan prasarana.
3. Penambahan
Beban Belajar. Pembelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial dapat
memberikan banyak manfaat bagi peserta didik, tetapi penting untuk memastikan
bahwa mereka tidak menghabiskan terlalu banyak waktu di depan layar. Dengan
mempertimbangkan batasan tersebut, mata pelajaran Koding dan Kecerdasan
Artifisial dapat diajarkan tiap minggu dengan peningkatan secara bertahap pada
tiap jenjang.
4. Sumber
Belajar. Sebagai mata pelajaran, pemerintah perlu memastikan penyediaan
buku teks untuk pembelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial. Penyediaan ini
dilakukan baik melalui penulisan buku teks utama atau kurasi buku teks
pendamping.
Ragam Bentuk
Penerapan Pembelajaran Koding dan KA
Terdapat tiga
bentuk penerapan pembelajaran koding dan KA yang selama ini telah dilakukan
oleh sekolah-sekolah di Indonesia, yaitu terintegrasi ke dalam mata pelajaran
yang ada, menjadi mata pelajaran pilihan, dan menjadi bagian dari kegiatan ekstrakurikuler
seperti pada tabel di bawah ini.
1. Menetapkan
Koding dan KA sebagai mata pelajaran pilihan pada jenjang SD (kelas 5 dan 6),
SMP (kelas 7, 8, dan 9), serta SMA/SMK (kelas 10) dengan alokasi waktu 2 jam pelajaran
per minggu.
Kelompok mata
pelajaran wajib adalah mata pelajaran yang harus diikuti oleh semua peserta
didik dalam suatu jenjang pendidikan. Namun kalau untuk SMA misalnya akan
menjadi salah satu pilihan siswa selain mata pelajaran seni budaya dan
prakarya. Beberapa pertimbangan dalam melaksanakan pilihan ini adalah sebagai
berikut: ketersediaan guru pengampu; ketersediaan sarana dan prasarana; penambahan
beban belajar; dan sumber belajar.
2. Untuk
jenjang SMA kelas 11 dan 12, alokasi waktu dapat ditingkatkan hingga 5 jam pelajaran,
sedangkan untuk SMK kelas 11 dan 12 hingga 4 jam pelajaran, menyesuaikan dengan
struktur kurikulum yang berlaku.
Salah satu
opsi penerapan pembelajaran Koding dan KA adalah menjadikannya sebagai kelompok
mata pelajaran pilihan. Mata pelajaran pilihan adalah mata pelajaran
yang dapat dipilih oleh peserta didik sesuai dengan kelompok minat dan
bakatnya. Berbeda dengan mata pelajaran wajib yang harus diikuti oleh semua peserta
didik, mata pelajaran pilihan memberikan fleksibilitas bagi peserta didik untuk
mendalami bidang tertentu. Pertimbangan menjadikan Koding dan KA sebagai mata
pelajaran pilihan adalah sebagai berikut.
3. Koding
dan KA sebagai Kokurikuler atau Terintegrasi pada Mata Pelajaran yang Sudah
Ada.
Opsi lain
dari penerapan Koding dan KA adalah dengan mengintegrasikannya pada mata
pelajaran yang sudah ada. Pada jenjang SD, kemampuan yang perlu dikuasai
peserta didik pada pembelajaran
Koding dan KA
dapat terintegrasi dengan mata pelajaran umum seperti matematika,bahasa, dan
IPAS atau sebagai kokurikuler pada mata pelajaran tersebut. Misalnya,
pembelajaran bahasa Indonesia dengan menyajikan teks eksposisi tentang etika
penggunaan KA. Pertimbangan menjadikanKoding dan KA sebagai kokurikuler atau
terintegrasi pada mata pelajaran yang sudah ada adalah sebagai berikut.
4. Koding dan Kecerdasan Artifisial sebagai Ekstrakurikuler.
Ekstrakurikuler berfungsi untuk memfasilitasi pengembangan potensi, bakat,
minat, kemampuan, kepribadian, kerja sama, dan kemandirian peserta didik dengan
bimbingan dan pengawasan satuan pendidikan. Melalui ekstrakurikuler, sekolah
dapat bekerja sama dengan pihak lain untuk memenuhi kebutuhan bahan
pembelajaran dan pembinaan. Hal ini juga dapat menjadi alternatif bagi sekolah
yang ingin memberikan pendalaman bagi peserta didik. Umumnya kegiatan
ekstrakurikuler tidak diwajibkan di sekolah, sehingga peserta didik diberi
kesempatan memilih untuk mengikutinya atau tidak.
Ekstrakurikuler berfungsi untuk memfasilitasi
pengembangan potensi, bakat, minat, kemampuan, kepribadian, kerja sama, dan
kemandirian peserta didik dengan bimbingan dan pengawasan satuan pendidikan.
Berdasarkan data, sudah terdapat beberapa sekolah di Indonesia yang mulai memasukkan
Koding dan KA sebagai ekstrakurikuler.
Penerapan Koding dan KA sebagai ekstrakurikuler akan
membuka ruang inovasi dan partisipasi yang lebih luas bagi satuan pendidikan.
Melalui ekstrakurikuler, satuan pendidikan dapat bekerja sama dengan pihak lain
untuk memenuhi kebutuhan bahan pembelajaran dan pembinaan. Penerapan Koding dan
KA sebagai ekstrakurikuler juga dapat menjadi alternatif bagi satuan pendidikan
yang ingin memberikan pendalaman bagi peserta didik yang sudah mempelajari
Koding dan KA melalui intrakurikuler. Umumnya kegiatan ekstrakurikuler tidak
diwajibkan di sekolah, sehingga peserta didik diberi kesempatan memilih untuk
mengikutinya atau tidak.
Penerapan pembelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial juga dapat dilihat pada video di bawah ini.
Materi dan
Capaian Belajar Setiap Jenjang
Tahapan
penguasaan kompetensi tiap jenjang yang telah didefinisikan sebelumnya kemudian
diturunkan dalam bentuk lingkup materi dan capaian belajar. Lingkup materi dan
capaian belajar ini Arah Kebijakan Pembelajaran
Koding dan Kecerdasan Artifisial dapat diterapkan pada intrakurikuler, kokurikuler,
dan ekstrakurikuler. Berdasarkan tahapan penguasaan kompetensi Koding dan KA
tiap jenjang, maka dapat dirumuskan elemen pembelajaran sebagai berikut:
a. Berpikir
komputasional;
b. Literasi
digital;
c. Algoritma
pemrograman;
d. Analisis
data;
e. Literasi
dan etika kecerdasan artifisial; dan
f.
Pemanfaatan dan pengembangan kecerdasan
artifisial.
Elemen algoritma pemrograman dan
analisis data dipelajari pada jenjang SMA/SMK sebagai pendalaman dari elemen
berpikir komputasional dan literasi digital. Pendalaman tersebut diwujudkan dalam
praktik koding dan pengolahan data.
Terdapat perbedaan yang cukup
mencolok antara Informatika dan Koding dan KA. Informatika sedari awal merupakan
mata pelajaran yang dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan dasar teknologi informasi
dan komunikasi (basic ICT), sedangkan Koding dan KA dikembangkan dengan
fokus pada kemampuan berpikir komputasional, pengembangan perangkat lunak, dan
pemanfaatan perangkat KA.
Gambaran ringkas tahapan
pembelajaran muatan Koding dan KA dan perbedaannya dengan muatan Informatika
ditunjukkan pada Tabel berikut: Tahapan Pembelajaran Informatika dan Koding dan
KA.
1.
Fase E (Kelas 10 SMA/SMK)
Pada kelas 10
jenjang SMA dan SMK, pembelajaran Koding dan KA berjalan beriringan dengan
Informatika. Sebagian materi yang dipelajari merupakan pendalaman dari materi
elemen berpikir komputasional dan literasi digital Informatika yang telah masuk
tingkat menengah dan sebagiannya lagi merupakan materi pada elemen KA.
Pendalaman elemen berpikir komputasional dan literasi digital diwujudkan dalam
elemen algoritma pemrograman dan analisis data. Komparasi dari materi yang
dipelajari pada Informatika dan Koding dan KA pada Fase E dapat ditunjukkan
sebagai berikut.
Elemen,
Materi, dan Capaian Belajar Koding dan KA untuk Fase E (Kelas 10 SMA/SMK) dan
komparasinya dengan Informatika:
2.
Fase F (Kelas 11-12 SMA/SMK)
Pada kelas 11
dan 12 jenjang SMA dan SMK, pembelajaran Koding dan KA telah masuk tingkat
lanjut. Pada tingkat lanjut, peserta didik akan lebih banyak melakukan
pengembangan perangkat lunak secara holistik dan kontekstual. Oleh sebab itu,
waktu pembelajaran yang dibutuhkan pun disarankan untuk ditingkatkan secara signifikan
dari fase sebelumnya. Meskipun pada fase ini Informatika bukan merupakan mata
pelajaran wajib, materi pembelajaran Informatika dan Koding dan KA perlu
dikomparasi agar tidak saling tumpeng tindih. Komparasi dari materi yang
dipelajari pada Informatika dan Koding dan KA pada fase F dapat ditunjukkan
sebagai berikut.
Elemen,
Materi, dan Capaian Belajar Koding dan KA untuk Fase F (Kelas 11-12 SMA/SMK)
dan komparasinya dengan Informatika:
Program Pelatihan Guru
Secara lengkap skema bimtek/pelatihan ditunjukkan pada gambar berikut ini.
Adapun struktur materi pelatihan
secara umum memuat kebijakan terkait Koding dan KA, materi inti terkait konsep
dan teknik koding dan literasi digital, serta materi pendukung, yaitu rencana
tindak lanjut (RTL) dan evaluasi bimtek/pelatihan. Metode pelatihan akan lebih
banyak dilakukan dengan praktik (70%) dan konseptual (30%). Praktik Koding dan
KA dengan pemanfaatan teknologi akan mendominasi pembelajaran pada pelatihan
guru khususnya untuk jenjang SMP, SMA dan SMK sementara untuk jenjang SD akan
lebih banyak ke pembelajaran berfikir komputasional dan literasi digital
dasar.
Tautan Download: NaskahAkademik: Pembelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial Pada Pendidikan Dasardan Menengah
Sumber:
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia. 2025. Naskah Akademik: Pembelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial Pada Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Pembelajaran & Pusat Standar dan Kebijakan Pendidikan.
0 comments:
Posting Komentar