Sabtu, 21 Juni 2025

Bagaimana Penerapan Pembelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial di Satuan Pendidikan?

Pemanfaatan teknologi seperti kecerdasan artifisial (AI), mahadata (big data), dan Internet of Things (IoT) makin mendominasi berbagai sektor. Digitalisasi telah mengubah cara manusia bekerja, berkomunikasi, dan memecahkan masalah. Agar setiap anak memiliki kesempatan yang sama untuk menghadapi tantangan ini, sistem pendidikan perlu memastikan bahwa literasi digital, termasuk pembelajaran koding dan kecerdasan artifisial, menjadi bagian dari kurikulum. Dengan demikian, pendidikan yang bermutu dapat diakses oleh semua peserta didik, tanpa terbatas pada daerah atau latar belakang tertentu.

Pembelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial (KA) bukan sekadar tren, melainkan kebutuhan dalam dunia pendidikan modern. Integrasi Koding dan KA dalam pendidikan tidak hanya untuk meningkatkan literasi digital dan kemampuan penyelesaian masalah, tetapi juga mengajarkan berbagai keterampilan esensial yang mencakup berpikir komputasional, analisis data, algoritma pemrograman, etika KA, human-centered mindset, design system KA, dan teknik KA.

Berpikir komputasional mengajarkan peserta didik untuk menyelesaikan masalah secara sistematis dan efisien dengan melakukan proses dekomposisi (memecah masalah besar menjadi bagian kecil), dan pengenalan pola, abstraksi, serta algoritma yang membantu peserta didik memahami dan menangani tantangan digital. Dengan ekosistem pembelajaran yang inklusif dan berkeadilan, pendidikan di Indonesia diharapkan tidak hanya mampu mencetak generasi yang berdaya saing tinggi, tetapi juga memastikan bahwa tidak ada anak yang tertinggal dalam memperoleh akses pendidikan berkualitas.

Konsep Koding dan Kecerdasan Artifisial

Sebelum membahas lebih mendalam mengenai pembelajaran koding dan KA, kita perlu mendefinisikan beberapa konsep kunci yang terkait, yaitu berpikir komputasional, pemrograman, koding, dan kecerdasan artifisial.

1.    Berpikir Komputasional

Berpikir komputasional merupakan sikap dan keterampilan yang dapat diterapkan secara universal, serta dapat dipelajari dan digunakan oleh semua orang yang ingin belajar dan menggunakannya. Berpikir komputasional dilakukan melalui dekomposisi, yaitu memecah masalah besar menjadi bagian-bagian kecil yang lebih mudah dikelola dan diselesaikan; pengenalan pola atau kemiripan dalam data atau masalah sehingga dapat digunakan untuk menemukan solusi yang serupa dalam situasi lain; abstraksi dengan cara menyaring informasi yang relevan dan penting; dan berpikir algoritmik dengan menyusun langkah-langkah logis untuk menyelesaikan masalah. Berpikir komputasional merupakan proses berpikir yang digunakan untuk menghasilkan solusi dengan langkah-langkah komputasi yang dapat meningkatkan kemampuan analisis seseorang. Solusi tersebut dapat dilanjutkan dengan tindakan komputasional (computational acting) berupa penggunaan teknologi atau pemrograman. 

2.    Pemrograman

Pemrograman adalah proses merancang, menulis, dan menguji kode yang digunakan untuk mengembangkan perangkat lunak dan aplikasi komputer. Pemrograman mencakup aspek logika, algoritma, serta struktur data untuk menyelesaikan masalah tertentu. 

3.    Koding

Koding merupakan tindakan dalam menerjemahkan keinginan (intentions) manusia ke dalam format yang dapat dimengerti komputer melalui bahasa pemrograman. Koding juga mengacu pada salah satu praktik pemrograman atau pemberian instruksi kepada komputer (misalnya, robot, chip, perangkat kecil), yang menerapkan solusi yang dikembangkan melalui pemikiran komputasi. Walaupun pemrograman dan koding memiliki cakupan yang berbeda, namun dalam beberapa artikel pembelajaran koding untuk sekolah, dua istilah tersebut sering digunakan bergantian dan dilihat sebagai sinonim.

Pembelajaran koding dapat dilakukan dengan beberapa metode, seperti plugged coding yang menggunakan perangkat komputer dan perangkat lunak; unplugged coding yang mengajarkan konsep pemrograman tanpa menggunakan komputer melalui aktivitas fisik atau game; dan internet-based coding yang memungkinkan pembelajaran melalui platform daring interaktif melalui koneksi internet. Berdasarkan konsep tersebut, maka koding dapat dipahami sebagai praktik pemrograman perangkat komputasi dengan melibatkan kemampuan berpikir komputasional dan algoritma secara internet-based, plugged, dan unplugged.

4.    Kecerdasan Artifisial

Para ahli mendefinisikan KA secara berbeda-beda, tergantung dari sudut pandang masing-masing. Ada yang mendefinisikan KA sebagai kemampuan sistem untuk dapat menginterpretasikan data eksternal dengan benar, belajar dari data tersebut, dan menggunakan pembelajaran tersebut untuk mencapai tujuan dan tugas tertentu. KA dipahami sebagai bidang studi yang mempelajari sintesis dan analisis dari agen komputasional (computational agent) yang dapat bertindak secara cerdas. Selanjutnya KA juga didefeniskan sebagai studi mengenai agen cerdas yang dapat menerima persepsi lingkungan dan melakukan tindakan. Agen dapat berpikir seperti manusia (thinking humanly), bertindak seperti manusia (acting humanly), berpikir rasional (thinking rationally), dan bertindak rasional (acting rationally). Dalam hal ini, kecerdasan artifisial merujuk kepada bidang dalam ilmu komputer yang berfokus pada pengembangan sistem yang mampu menjalankan tugas-tugas yang biasanya membutuhkan kecerdasan manusia, seperti pengenalan pola, pengambilan keputusan, dan pemrosesan bahasa alami.

Dalam konteks pendidikan, KA diposisikan sebagai sistem atau teknologi yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, KA dapat digunakan untuk personalisasi sesuai kebutuhan belajar peserta didik. Namun, selain diposisikan sebagai teknologi pendukung, pemahaman, pemanfaatan, dan pengembangan KA dapat diposisikan sebagai materi pembelajaran pada berbagai jenjang pendidikan. Pembelajaran Koding dan KA akan dijelaskan pada bagian berikut.

Urgensi integrasi Koding dan KA dalam pendidikan makin meningkat seiring dengan perkembangan Industri 4.0 dan 5.0, yang menuntut sumber daya manusia unggul dengan pemahaman dan keterampilan digital yang kuat. Tanpa literasi digital dan kemampuan di bidang teknologi digital yang memadai, generasi muda akan menghadapi kesulitan dalam bersaing di dunia kerja yang makin berbasis teknologi. Oleh karena itu, integrasi Koding dan KA dalam kurikulum sekolah bukan sekadar inovasi, melainkan kebutuhan fundamental dalam membangun sumber daya manusia yang unggul dan adaptif terhadap perubahan zaman.

Pemerintah, sekolah, industri, dan masyarakat perlu bersinergi dalam menciptakan ekosistem pendidikan yang kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan keterampilan sehingga banga Indonesia tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga produsen inovasi yang mampu bersaing di tingkat global.

Pembelajaran koding dan KA tidak hanya meningkatkan literasi digital, tetapi juga membangun keterampilan berpikir kritis, kreatif, kolaboratif, dan pemecahan masalah—keterampilan esensial dalam dunia yang terus berubah. Pendidikan yang bermutu harus memberikan kesempatan bagi semua peserta didik, baik di perkotaan maupun di daerah terpencil, untuk memahami prinsip dasar teknologi dan menggunakannya sebagai alat pemberdayaan. Dengan demikian, mereka tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga dapat berperan sebagai inovator yang menciptakan solusi bagi tantangan di sekitar mereka.

Namun, pendidikan yang berkualitas tidak hanya berfokus pada penguasaan teknologi, tetapi juga pada kesadaran etis dalam penggunaannya. KA dan sistem otomatisasi membawa tantangan tersendiri, seperti keamanan data, bias algoritma, dan dampak sosial yang lebih luas. Oleh karena itu, pembelajaran koding dan KA perlu dilengkapi dengan pendidikan etika digital sehingga peserta didik tidak hanya memiliki keterampilan teknis, tetapi juga pemahaman kritis dalam mengembangkan dan menerapkan teknologi secara bertanggung jawab. Dengan pendekatan ini, pendidikan bermutu benar-benar dapat diakses oleh semua, membekali setiap anak dengan kemampuan untuk bersaing dan berkontribusi dalam dunia yang makin terdigitalisasi.

Arah kebijakan pembelajaran Koding dan KA dirancang untuk mempersiapkan peserta didik menghadapi tantangan era digital. Kurikulum Koding dan KA dikembangkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, yang menekankan penyesuaian dengan kebutuhan peserta didik, perkembangan zaman, dan tujuan pendidikan. Kurikulum ini mencakup kompetensi yang harus dikuasai peserta didik di setiap jenjang, mulai dari SD hingga SMA/SMK, dengan fokus pada berpikir komputasional, literasi digital, algoritma pemrograman, analisis data, dan etika KA. Pembelajaran Koding dan KA dapat diterapkan melalui intrakurikuler, kokurikuler, atau ekstrakurikuler, dengan mempertimbangkan aspek teknis, ekonomis, dan politis.

Pembelajaran Koding dan KA bertujuan untuk mengembangkan kompetensi peserta didik sesuai tahapan perkembangannya. Referensi seperti UNESCO ICT Competency Framework for Teachers (2018), CSTA K-12 Computer Science Standards (2017), dan UNESCO AI Competency Framework for Students (2024) menjadi dasar pengembangan kurikulum.

Tahapan penguasaan kompetensi dibagi berdasarkan jenjang pendidikan, mulai dari kemampuan dasar, seperti pemecahan masalah sehari-hari di SD, hingga pembuatan program berbasis teks dan aplikasi KA di SMA/SMK. Penerapan pembelajaran Koding dan KA dapat dilakukan melalui beberapa opsi, yaitu sebagai mata pelajaran wajib, mata pelajaran pilihan, atau terintegrasi dengan mata pelajaran lain. Setiap opsi memiliki pertimbangan tersendiri, seperti ketersediaan guru, sarana prasarana, dan beban belajar peserta didik.

Pembelajaran Koding dan KA dapat menggunakan berbagai metode, seperti pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning), pembelajaran berbasis projek (project-base learning), pembelajaran inkuiri dan gamifikasi melalui pendekatan internet-based, plugged, dan unplugged. Media pembelajaran yang digunakan meliputi perangkat digital (komputer, laptop), platform digital, modul interaktif, serta alat nondigital seperti kartu dan papan. Kualifikasi dan kompetensi guru juga menjadi faktor penting, di mana guru perlu menguasai kompetensi profesional, pedagogik, kepribadian, dan sosial untuk mengajar Koding dan KA secara efektif.

Contoh Masalah Koding dan KA pada Pembelajaran Berbasis Masalah:

Contoh Projek Koding dan KA pada Pembelajaran Berbasis Projek:

Lebih jauh, pembelajaran koding juga erat kaitannya dengan konsep computational, konsep ini melatih peserta didik dalam berpikir sistematis melalui teknik decomposition, yaitu memecah masalah besar menjadi bagian kecil, pattern recognition untuk mengenali pola dalam data, abstraction dalam menyaring informasi penting, serta algorithmic thinking yang memungkinkan mereka menyusun solusi dalam langkah-langkah yang logis dan efisien. Dengan menerapkan computational thinking, peserta didik tidak hanya belajar cara membuat kode, tetapi juga memahami cara berpikir yang dapat diterapkan dalam berbagai disiplin ilmu, seperti sains, ekonomi, dan bahkan seni.

Di samping itu, teori konektivisme makin memperkuat relevansi pembelajaran KA, karena teknologi berbasis data memungkinkan peserta didik untuk belajar dari berbagai sumber digital. Melalui konektivisme, peserta didik dapat berkolaborasi secara global melalui komunitas open-source, platform pembelajaran daring, serta jaringan profesional yang mempercepat transfer pengetahuan. Kemampuan ini sangat dibutuhkan dalam era digital yang terus berkembang, terutama dalam membangun keterampilan 6C (Character, Citizenship, Critical Thinking, Creativity, Collaboration, Communication), yang menjadi kompetensi utama abad ke-21.

Dalam konteks Kurikulum Merdeka, Koding dan KA juga memungkinkan penerapan pembelajaran berdiferensiasi, di mana peserta didik dapat belajar sesuai dengan minat dan kemampuan mereka masingmasing. Hal ini memberikan fleksibilitas dalam pengajaran dan membantu peserta didik menemukan potensi terbaik mereka dalam bidang teknologi. Dengan demikian, pembelajaran koding dan KA tidak hanya membekali peserta didik dengan keterampilan teknis, tetapi juga membentuk pola pikir yang kritis, kreatif, dan adaptif dalam menghadapi tantangan masa depan.

Implementasi kebijakan pembelajaran Koding dan KA dilakukan secara bertahap, dimulai dari sekolah-sekolah yang memiliki kesiapan infrastruktur dan tenaga pengajar. Program bimbingan teknis (bimtek) dan pelatihan guru diselenggarakan untuk meningkatkan kapasitas guru dalam mengajar Koding dan KA. Kemitraan multi-stakeholders melibatkan pemerintah, dunia industri, akademisi, komunitas, dan NGO/LSM untuk mendukung implementasi kebijakan ini.

Pemantauan dan evaluasi dilakukan untuk menilai proses implementasi dan dampak kebijakan, dengan tujuan memastikan peningkatan kemampuan berpikir kritis dan komputasional peserta didik. Dengan sinergi antara berbagai pihak, pembelajaran Koding dan KA diharapkan dapat menciptakan generasi muda yang siap menghadapi era digital dan Industri 4.0 serta Masyarakat 5.0.

Evaluasi Pembelajaran

Evaluasi pembelajaran adalah proses mengumpulkan informasi tentang pencapaian hasil belajar peserta didik untuk mengukur sejauh mana tujuan pembelajaran telah tercapai dan memberikan umpan balik yang berguna dalam perbaikan proses pembelajaran. Evaluasi pembelajaran Koding dan KA dilaksanakan guna melakukan perbaikan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran berdasarkan capaian belajar peserta didik. 

Evaluasi dapat dilaksanakan oleh guru, kepala satuan pendidikan, dan peserta didik. Evaluasi oleh guru dapat dilaksanakan dengan pengamatan proses pembelajaran, diskusi sesama guru, dan analisis hasil penilaian hasil belajar peserta didik. Penilaian hasil belajar peserta didik berupa penilaian autentik direkomendasikan guna memberikan gambaran nyata kemampuan peserta didik. Jika penilaian hasil belajar peserta didik diselenggarakan melalui uji kompetensi atau sertifikasi, maka keberhasilan peserta didik mendapatkan sertifikat kompetensi dapat dijadikan pertimbangan dalam evaluasi pembelajaran. Evaluasi oleh kepala satuan pendidikan dapat dilaksanakan melalui supervisi akademik, manajerial, klinis, dan evaluatif terhadap kegiatan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Evaluasi oleh peserta didik dapat dilaksanakan dalam bentuk refleksi kegiatan pembelajaran.

Dasar Pertimbangan Penentuan Pilihan Pembelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial

Perlu menjadi perhatian dan pertimbangan sekolah dalam melaksanakan pilihan dalam menerapkan pembelajaran koding dan kecerdasan artifisial adalah sebagai berikut.

1. Ketersediaan Guru Pengampu. Pada jenjang SMP dan SMA/SMK, guru pengampu Koding dan Kecerdasan Artifisial besar kemungkinannya sudah tersedia, mengingat saat ini telah ada mata pelajaran Informatika pada struktur kurikulum. Namun untuk jenjang SD akan menjadi kendala. Meskipun begitu, materi tentang kecerdasan artifisial merupakan hal baru yang perlu dieksplorasi dan dilatihkan pada guru Informatika.

2. Ketersediaan Sarana dan Prasarana. Pembelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial idealnya memerlukan sarana dan prasarana TIK (utamanya komputer dan internet) yang mumpuni. Saat ini belum semua sekolah (utamanya SD) memiliki sarana dan prasarana TIK yang ideal untuk melayani seluruh peserta didiknya. Satuan pendidikan perlu menyediakan sarana dan prasarana pendukung, khususnya bagi sekolah yang belum memiliki sarana dan prasarana.

3.  Penambahan Beban Belajar. Pembelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial dapat memberikan banyak manfaat bagi peserta didik, tetapi penting untuk memastikan bahwa mereka tidak menghabiskan terlalu banyak waktu di depan layar. Dengan mempertimbangkan batasan tersebut, mata pelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial dapat diajarkan tiap minggu dengan peningkatan secara bertahap pada tiap jenjang.

4.  Sumber Belajar. Sebagai mata pelajaran, pemerintah perlu memastikan penyediaan buku teks untuk pembelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial. Penyediaan ini dilakukan baik melalui penulisan buku teks utama atau kurasi buku teks pendamping.

Ragam Bentuk Penerapan Pembelajaran Koding dan KA

Terdapat tiga bentuk penerapan pembelajaran koding dan KA yang selama ini telah dilakukan oleh sekolah-sekolah di Indonesia, yaitu terintegrasi ke dalam mata pelajaran yang ada, menjadi mata pelajaran pilihan, dan menjadi bagian dari kegiatan ekstrakurikuler seperti pada tabel di bawah ini.

Berdasarkan hasil kajian, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah perlu mengambil langkah-langkah strategis integrasi Koding dan KA dalam Kurikulum sebagai berikut:

1.   Menetapkan Koding dan KA sebagai mata pelajaran pilihan pada jenjang SD (kelas 5 dan 6), SMP (kelas 7, 8, dan 9), serta SMA/SMK (kelas 10) dengan alokasi waktu 2 jam pelajaran per minggu.

Kelompok mata pelajaran wajib adalah mata pelajaran yang harus diikuti oleh semua peserta didik dalam suatu jenjang pendidikan. Namun kalau untuk SMA misalnya akan menjadi salah satu pilihan siswa selain mata pelajaran seni budaya dan prakarya. Beberapa pertimbangan dalam melaksanakan pilihan ini adalah sebagai berikut: ketersediaan guru pengampu; ketersediaan sarana dan prasarana; penambahan beban belajar; dan sumber belajar.

2. Untuk jenjang SMA kelas 11 dan 12, alokasi waktu dapat ditingkatkan hingga 5 jam pelajaran, sedangkan untuk SMK kelas 11 dan 12 hingga 4 jam pelajaran, menyesuaikan dengan struktur kurikulum yang berlaku.

Salah satu opsi penerapan pembelajaran Koding dan KA adalah menjadikannya sebagai kelompok mata pelajaran pilihan. Mata pelajaran pilihan adalah mata pelajaran yang dapat dipilih oleh peserta didik sesuai dengan kelompok minat dan bakatnya. Berbeda dengan mata pelajaran wajib yang harus diikuti oleh semua peserta didik, mata pelajaran pilihan memberikan fleksibilitas bagi peserta didik untuk mendalami bidang tertentu. Pertimbangan menjadikan Koding dan KA sebagai mata pelajaran pilihan adalah sebagai berikut. 

3.    Koding dan KA sebagai Kokurikuler atau Terintegrasi pada Mata Pelajaran yang Sudah Ada.

Opsi lain dari penerapan Koding dan KA adalah dengan mengintegrasikannya pada mata pelajaran yang sudah ada. Pada jenjang SD, kemampuan yang perlu dikuasai peserta didik pada pembelajaran

Koding dan KA dapat terintegrasi dengan mata pelajaran umum seperti matematika,bahasa, dan IPAS atau sebagai kokurikuler pada mata pelajaran tersebut. Misalnya, pembelajaran bahasa Indonesia dengan menyajikan teks eksposisi tentang etika penggunaan KA. Pertimbangan menjadikanKoding dan KA sebagai kokurikuler atau terintegrasi pada mata pelajaran yang sudah ada adalah sebagai berikut.

4.  Koding dan Kecerdasan Artifisial sebagai Ekstrakurikuler. Ekstrakurikuler berfungsi untuk memfasilitasi pengembangan potensi, bakat, minat, kemampuan, kepribadian, kerja sama, dan kemandirian peserta didik dengan bimbingan dan pengawasan satuan pendidikan. Melalui ekstrakurikuler, sekolah dapat bekerja sama dengan pihak lain untuk memenuhi kebutuhan bahan pembelajaran dan pembinaan. Hal ini juga dapat menjadi alternatif bagi sekolah yang ingin memberikan pendalaman bagi peserta didik. Umumnya kegiatan ekstrakurikuler tidak diwajibkan di sekolah, sehingga peserta didik diberi kesempatan memilih untuk mengikutinya atau tidak.

Ekstrakurikuler berfungsi untuk memfasilitasi pengembangan potensi, bakat, minat, kemampuan, kepribadian, kerja sama, dan kemandirian peserta didik dengan bimbingan dan pengawasan satuan pendidikan. Berdasarkan data, sudah terdapat beberapa sekolah di Indonesia yang mulai memasukkan Koding dan KA sebagai ekstrakurikuler. 

Penerapan Koding dan KA sebagai ekstrakurikuler akan membuka ruang inovasi dan partisipasi yang lebih luas bagi satuan pendidikan. Melalui ekstrakurikuler, satuan pendidikan dapat bekerja sama dengan pihak lain untuk memenuhi kebutuhan bahan pembelajaran dan pembinaan. Penerapan Koding dan KA sebagai ekstrakurikuler juga dapat menjadi alternatif bagi satuan pendidikan yang ingin memberikan pendalaman bagi peserta didik yang sudah mempelajari Koding dan KA melalui intrakurikuler. Umumnya kegiatan ekstrakurikuler tidak diwajibkan di sekolah, sehingga peserta didik diberi kesempatan memilih untuk mengikutinya atau tidak.

Penerapan pembelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial juga dapat dilihat pada video di bawah ini.

Materi dan Capaian Belajar Setiap Jenjang

Tahapan penguasaan kompetensi tiap jenjang yang telah didefinisikan sebelumnya kemudian diturunkan dalam bentuk lingkup materi dan capaian belajar. Lingkup materi dan capaian belajar ini  Arah Kebijakan Pembelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial dapat diterapkan pada intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler. Berdasarkan tahapan penguasaan kompetensi Koding dan KA tiap jenjang, maka dapat dirumuskan elemen pembelajaran sebagai berikut:

a.    Berpikir komputasional;

b.    Literasi digital;

c.     Algoritma pemrograman;

d.    Analisis data;

e.    Literasi dan etika kecerdasan artifisial; dan

f.      Pemanfaatan dan pengembangan kecerdasan artifisial.

Elemen algoritma pemrograman dan analisis data dipelajari pada jenjang SMA/SMK sebagai pendalaman dari elemen berpikir komputasional dan literasi digital. Pendalaman tersebut diwujudkan dalam praktik koding dan pengolahan data. 

Terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara Informatika dan Koding dan KA. Informatika sedari awal merupakan mata pelajaran yang dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan dasar teknologi informasi dan komunikasi (basic ICT), sedangkan Koding dan KA dikembangkan dengan fokus pada kemampuan berpikir komputasional, pengembangan perangkat lunak, dan pemanfaatan perangkat KA.

Gambaran ringkas tahapan pembelajaran muatan Koding dan KA dan perbedaannya dengan muatan Informatika ditunjukkan pada Tabel berikut: Tahapan Pembelajaran Informatika dan Koding dan KA.

1.    Fase E (Kelas 10 SMA/SMK)

Pada kelas 10 jenjang SMA dan SMK, pembelajaran Koding dan KA berjalan beriringan dengan Informatika. Sebagian materi yang dipelajari merupakan pendalaman dari materi elemen berpikir komputasional dan literasi digital Informatika yang telah masuk tingkat menengah dan sebagiannya lagi merupakan materi pada elemen KA. Pendalaman elemen berpikir komputasional dan literasi digital diwujudkan dalam elemen algoritma pemrograman dan analisis data. Komparasi dari materi yang dipelajari pada Informatika dan Koding dan KA pada Fase E dapat ditunjukkan sebagai berikut.

Elemen, Materi, dan Capaian Belajar Koding dan KA untuk Fase E (Kelas 10 SMA/SMK) dan komparasinya dengan Informatika:

2.    Fase F (Kelas 11-12 SMA/SMK)

Pada kelas 11 dan 12 jenjang SMA dan SMK, pembelajaran Koding dan KA telah masuk tingkat lanjut. Pada tingkat lanjut, peserta didik akan lebih banyak melakukan pengembangan perangkat lunak secara holistik dan kontekstual. Oleh sebab itu, waktu pembelajaran yang dibutuhkan pun disarankan untuk ditingkatkan secara signifikan dari fase sebelumnya. Meskipun pada fase ini Informatika bukan merupakan mata pelajaran wajib, materi pembelajaran Informatika dan Koding dan KA perlu dikomparasi agar tidak saling tumpeng tindih. Komparasi dari materi yang dipelajari pada Informatika dan Koding dan KA pada fase F dapat ditunjukkan sebagai berikut.

Elemen, Materi, dan Capaian Belajar Koding dan KA untuk Fase F (Kelas 11-12 SMA/SMK) dan komparasinya dengan Informatika:

Program Pelatihan Guru

Secara lengkap skema bimtek/pelatihan ditunjukkan pada gambar berikut ini. 

Adapun struktur materi pelatihan secara umum memuat kebijakan terkait Koding dan KA, materi inti terkait konsep dan teknik koding dan literasi digital, serta materi pendukung, yaitu rencana tindak lanjut (RTL) dan evaluasi bimtek/pelatihan. Metode pelatihan akan lebih banyak dilakukan dengan praktik (70%) dan konseptual (30%). Praktik Koding dan KA dengan pemanfaatan teknologi akan mendominasi pembelajaran pada pelatihan guru khususnya untuk jenjang SMP, SMA dan SMK sementara untuk jenjang SD akan lebih banyak ke pembelajaran berfikir komputasional dan literasi digital dasar. 

Tautan Download: NaskahAkademik: Pembelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial Pada Pendidikan Dasardan Menengah

Sumber:

Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia. 2025. Naskah Akademik: Pembelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial Pada Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Pembelajaran & Pusat Standar dan Kebijakan Pendidikan.

0 comments:

Posting Komentar