Tulisan ini akan menjelaskan tentang gerakan literasi di sekolah. Gerakan literasi ini merupakan amanat dari Permendikbud No 23 Tahun 2015 Tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Program ini terdiri dari 3 tahap pelaksanaan, yakni tahap pembiasaan, pengembangan, dan pembelajaran. Kegiatan literasi di sekolah biasanya dimulai dengan 15 menit peserta didik membaca buku yang bukan buku pelajaran. Selanjutnya bisa dibaca dari paparan ini tentang GLS ini. Tulisan ini juga dilengkapi dengan bahan panduan gerakan literasi, bahan presentasi yang bisa Anda download pada akhir tulisan. Mudah-mudahan bermanfaat.
Latar Belakang
Pada abad ke-21 ini, kemampuan berliterasi peserta didik berkaitan
erat dengan tuntutan keterampilan membaca yang berujung pada kemampuan memahami
informasi secara analitis, kritis, dan reflektif. Berdasarkan hal itulah,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengembangkan Gerakan Literasi Sekolah
(GLS). GLS merupakan sebuah upaya yang
dilakukan secara menyeluruh untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi
pembelajar yang warganya literat sepanjang hayat melalui pelibatan publik.
Taufik Ismail pada tahun
1997 mengadakan penelitian pada tingkat SMA di 13 negara. Beliau meneliti tentang
kewajiban buku dalam pembelajaran, tersedianya buku wajib di perpustakaan
sekolah, bimbingan menulis, dan pengajaran sastra di sekolah. Ternyata dari
penelitiannya tersebut diperoleh data bahwa negara yang siswanya membaca buku tertinggi
adalah amerika serikat dengan 32 judul buku, belanda dan perancis 30 judul
buku, jerman 22, jepang dan swiss 15 buku, kanada 13, rusia, 12, brunei 7,
singapura dan Malaysia 6, dan Thailand 5. Sedangkan Indonesia rata-rata 0 buku.
Jadi dapat disimpulkan di zaman
yang modern ini, 90% siswa Indonesia hanya mengandalkan hidupnya dengan melihat
dan mendengar saja. Pada hal teknologi semakin modern tapi tanpa membaca buku
maka berarti kita masih primitif.
Kalau kita bandingkan dengan siswa Algemene Middelbare School (SMA zaman Belanda dulu) di Yogyakarta wajib membaca 25 buku sastra dalam waktu 3 tahun, tak jauh di bawah SMA Forest Hills (New York), di atas SMA Wanne-Eickel (Jerman) hari ini. Superioritas AMS Hindia Belanda itu jadi luar biasa karena 25 buku itu dalam 4 bahasa, yaitu Belanda, Inggeris, Jerman dan Perancis. Siswa AMS wajib menulis 1 karangan seminggu. Karangan disetor, diperiksa guru, diberi angka. panjang karangan 1 halaman. 36 karangan setahun, 108 karangan 3 tahun. Ketika mereka masuk universitas, tugas menulis makalah dan skripsi dilaksanakan dengan sangat baik dan lancar.
Kalau kita bandingkan dengan siswa Algemene Middelbare School (SMA zaman Belanda dulu) di Yogyakarta wajib membaca 25 buku sastra dalam waktu 3 tahun, tak jauh di bawah SMA Forest Hills (New York), di atas SMA Wanne-Eickel (Jerman) hari ini. Superioritas AMS Hindia Belanda itu jadi luar biasa karena 25 buku itu dalam 4 bahasa, yaitu Belanda, Inggeris, Jerman dan Perancis. Siswa AMS wajib menulis 1 karangan seminggu. Karangan disetor, diperiksa guru, diberi angka. panjang karangan 1 halaman. 36 karangan setahun, 108 karangan 3 tahun. Ketika mereka masuk universitas, tugas menulis makalah dan skripsi dilaksanakan dengan sangat baik dan lancar.
Selanjutnya
kalau kita hubungkan dengan bonus demografi pada tahun 2045 atau ulang tahun
Republik Indonesia ke- 100 tahun. Maka seandainya kita tidak menyiapkan generasi
kita sekarang maka bonus demografi pada saat itu hanya akan lewat begitu saja
tanpa memberikan manfaat bagi Negara ini. Ledakan
penduduk usia kerja adalah hal penting karena dengan peningkatan penduduk usia
kerja memberikan peluang mendapatkan bonus demografi. Apabila ada respon kebijakan
pemerintah daerah yang positif pada saat bonus demografi, maka akan terjadi
peningkatan produktivitas. Bonus Demografi juga memberikan keuntungan ekonomis
yang disebabkan oleh menurunnya rasio ketergantungan penduduk usia non
produktif sebagai hasil penurunan fertilitas jangka panjang.
Dalam konteks internasional, pemahaman membaca tingkat sekolah dasar (kelas IV) diuji oleh Asosiasi Internasional untuk Evaluasi Prestasi Pendidikan (IEAthe International Association for the Evaluation of Educational Achievement ) dalam Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) yang dilakukan setiap lima tahun (sejak tahun 2001). Pada tingkat sekolah menengah (usia 15 tahun) pemahaman membaca peserta didik (selain matematika dan sains) diuji oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD— Organization for Economic Cooperation and Development) dalam Programme for International Student Assessment (PISA). Dalam PIRLS 2011 International Results in Reading , Indonesia menduduki peringkat ke-45 dari 48 negara peserta dengan skor 428 dari skor rata-rata 500 (IEA, 2012). Sementara itu, uji literasi membaca dalam PISA 2009 menunjukkan peserta didik Indonesia berada pada peringkat ke-57 dengan skor 396 (skor rata-rata OECD 493), sedangkan PISA 2012 menunjukkan peserta didik Indonesia berada pada peringkat ke-64 dengan skor 396 (skor ratarata OECD 496) (OECD, 2013) dari 65 negara yang berpartisipasi. Data PIRLS dan PISA, khususnya dalam keterampilan memahami bacaan, menunjukkan bahwa kompetensi peserta didik Indonesia tergolong rendah.
Dalam konteks internasional, pemahaman membaca tingkat sekolah dasar (kelas IV) diuji oleh Asosiasi Internasional untuk Evaluasi Prestasi Pendidikan (IEAthe International Association for the Evaluation of Educational Achievement ) dalam Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) yang dilakukan setiap lima tahun (sejak tahun 2001). Pada tingkat sekolah menengah (usia 15 tahun) pemahaman membaca peserta didik (selain matematika dan sains) diuji oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD— Organization for Economic Cooperation and Development) dalam Programme for International Student Assessment (PISA). Dalam PIRLS 2011 International Results in Reading , Indonesia menduduki peringkat ke-45 dari 48 negara peserta dengan skor 428 dari skor rata-rata 500 (IEA, 2012). Sementara itu, uji literasi membaca dalam PISA 2009 menunjukkan peserta didik Indonesia berada pada peringkat ke-57 dengan skor 396 (skor rata-rata OECD 493), sedangkan PISA 2012 menunjukkan peserta didik Indonesia berada pada peringkat ke-64 dengan skor 396 (skor ratarata OECD 496) (OECD, 2013) dari 65 negara yang berpartisipasi. Data PIRLS dan PISA, khususnya dalam keterampilan memahami bacaan, menunjukkan bahwa kompetensi peserta didik Indonesia tergolong rendah.
Rendahnya
keterampilan tersebut membuktikan bahwa proses pendidikan belum mengembangkan
kompetensi dan minat peserta didik terhadap pengetahuan. Praktik pendidikan
yang dilaksanakan di sekolah selama ini juga memperlihatkan bahwa sekolah belum
berfungsi sebagai organisasi pembelajaran yang menjadikan semua warganya
sebagai pembelajar sepanjang hayat. Untuk mengembangkan sekolah sebagai
organisasi pembelajaran, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengembangkan
Gerakan Literasi Sekolah (GLS). GLS adalah upaya menyeluruh yang melibatkan
semua warga sekolah (guru, peserta didik, orang tua/wali murid) dan masyarakat,
sebagai bagian dari ekosistem pendidikan. Gerakan Literasi Sekolah memperkuat
gerakan penumbuhan budi pekerti sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015. Salah satu kegiatan di dalam
gerakan tersebut adalah “kegiatan 15 menit membaca buku nonpelajaran sebelum
waktu belajar dimulai”. Kegiatan ini dilaksanakan untuk menumbuhkan minat baca
peserta didik serta meningkatkan keterampilan membaca agar pengetahuan dapat
dikuasai secara lebih baik. Materi baca berisi nilai-nilai budi pekerti, berupa
kearifan lokal, nasional, dan global yang disampaikan sesuai tahap perkembangan
peserta didik.
Terobosan
penting ini hendaknya melibatkan semua pemangku kepentingan di bidang
pendidikan, mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga satuan
pendidikan. Pelibatan orang tua peserta didik dan masyarakat juga menjadi
komponen penting dalam GLS. Keterampilan membaca berperan penting dalam
kehidupan kita karena pengetahuan diperoleh melalui membaca. Oleh karena itu,
keterampilan ini harus dikuasai peserta didik dengan baik sejak dini.