Tulisan ini akan menjelaskan tentang gerakan literasi di sekolah. Gerakan literasi ini merupakan amanat dari Permendikbud No 23 Tahun 2015 Tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Program ini terdiri dari 3 tahap pelaksanaan, yakni tahap pembiasaan, pengembangan, dan pembelajaran. Kegiatan literasi di sekolah biasanya dimulai dengan 15 menit peserta didik membaca buku yang bukan buku pelajaran. Selanjutnya bisa dibaca dari paparan ini tentang GLS ini. Tulisan ini juga dilengkapi dengan bahan panduan gerakan literasi, bahan presentasi yang bisa Anda download pada akhir tulisan. Mudah-mudahan bermanfaat.
Latar Belakang
Pada abad ke-21 ini, kemampuan berliterasi peserta didik berkaitan
erat dengan tuntutan keterampilan membaca yang berujung pada kemampuan memahami
informasi secara analitis, kritis, dan reflektif. Berdasarkan hal itulah,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengembangkan Gerakan Literasi Sekolah
(GLS). GLS merupakan sebuah upaya yang
dilakukan secara menyeluruh untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi
pembelajar yang warganya literat sepanjang hayat melalui pelibatan publik.
Taufik Ismail pada tahun
1997 mengadakan penelitian pada tingkat SMA di 13 negara. Beliau meneliti tentang
kewajiban buku dalam pembelajaran, tersedianya buku wajib di perpustakaan
sekolah, bimbingan menulis, dan pengajaran sastra di sekolah. Ternyata dari
penelitiannya tersebut diperoleh data bahwa negara yang siswanya membaca buku tertinggi
adalah amerika serikat dengan 32 judul buku, belanda dan perancis 30 judul
buku, jerman 22, jepang dan swiss 15 buku, kanada 13, rusia, 12, brunei 7,
singapura dan Malaysia 6, dan Thailand 5. Sedangkan Indonesia rata-rata 0 buku.
Jadi dapat disimpulkan di zaman
yang modern ini, 90% siswa Indonesia hanya mengandalkan hidupnya dengan melihat
dan mendengar saja. Pada hal teknologi semakin modern tapi tanpa membaca buku
maka berarti kita masih primitif.
Kalau kita bandingkan dengan siswa Algemene Middelbare School (SMA zaman Belanda dulu) di Yogyakarta wajib membaca 25 buku sastra dalam waktu 3 tahun, tak jauh di bawah SMA Forest Hills (New York), di atas SMA Wanne-Eickel (Jerman) hari ini. Superioritas AMS Hindia Belanda itu jadi luar biasa karena 25 buku itu dalam 4 bahasa, yaitu Belanda, Inggeris, Jerman dan Perancis. Siswa AMS wajib menulis 1 karangan seminggu. Karangan disetor, diperiksa guru, diberi angka. panjang karangan 1 halaman. 36 karangan setahun, 108 karangan 3 tahun. Ketika mereka masuk universitas, tugas menulis makalah dan skripsi dilaksanakan dengan sangat baik dan lancar.
Kalau kita bandingkan dengan siswa Algemene Middelbare School (SMA zaman Belanda dulu) di Yogyakarta wajib membaca 25 buku sastra dalam waktu 3 tahun, tak jauh di bawah SMA Forest Hills (New York), di atas SMA Wanne-Eickel (Jerman) hari ini. Superioritas AMS Hindia Belanda itu jadi luar biasa karena 25 buku itu dalam 4 bahasa, yaitu Belanda, Inggeris, Jerman dan Perancis. Siswa AMS wajib menulis 1 karangan seminggu. Karangan disetor, diperiksa guru, diberi angka. panjang karangan 1 halaman. 36 karangan setahun, 108 karangan 3 tahun. Ketika mereka masuk universitas, tugas menulis makalah dan skripsi dilaksanakan dengan sangat baik dan lancar.
Selanjutnya
kalau kita hubungkan dengan bonus demografi pada tahun 2045 atau ulang tahun
Republik Indonesia ke- 100 tahun. Maka seandainya kita tidak menyiapkan generasi
kita sekarang maka bonus demografi pada saat itu hanya akan lewat begitu saja
tanpa memberikan manfaat bagi Negara ini. Ledakan
penduduk usia kerja adalah hal penting karena dengan peningkatan penduduk usia
kerja memberikan peluang mendapatkan bonus demografi. Apabila ada respon kebijakan
pemerintah daerah yang positif pada saat bonus demografi, maka akan terjadi
peningkatan produktivitas. Bonus Demografi juga memberikan keuntungan ekonomis
yang disebabkan oleh menurunnya rasio ketergantungan penduduk usia non
produktif sebagai hasil penurunan fertilitas jangka panjang.
Dalam konteks internasional, pemahaman membaca tingkat sekolah dasar (kelas IV) diuji oleh Asosiasi Internasional untuk Evaluasi Prestasi Pendidikan (IEAthe International Association for the Evaluation of Educational Achievement ) dalam Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) yang dilakukan setiap lima tahun (sejak tahun 2001). Pada tingkat sekolah menengah (usia 15 tahun) pemahaman membaca peserta didik (selain matematika dan sains) diuji oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD— Organization for Economic Cooperation and Development) dalam Programme for International Student Assessment (PISA). Dalam PIRLS 2011 International Results in Reading , Indonesia menduduki peringkat ke-45 dari 48 negara peserta dengan skor 428 dari skor rata-rata 500 (IEA, 2012). Sementara itu, uji literasi membaca dalam PISA 2009 menunjukkan peserta didik Indonesia berada pada peringkat ke-57 dengan skor 396 (skor rata-rata OECD 493), sedangkan PISA 2012 menunjukkan peserta didik Indonesia berada pada peringkat ke-64 dengan skor 396 (skor ratarata OECD 496) (OECD, 2013) dari 65 negara yang berpartisipasi. Data PIRLS dan PISA, khususnya dalam keterampilan memahami bacaan, menunjukkan bahwa kompetensi peserta didik Indonesia tergolong rendah.
Dalam konteks internasional, pemahaman membaca tingkat sekolah dasar (kelas IV) diuji oleh Asosiasi Internasional untuk Evaluasi Prestasi Pendidikan (IEAthe International Association for the Evaluation of Educational Achievement ) dalam Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) yang dilakukan setiap lima tahun (sejak tahun 2001). Pada tingkat sekolah menengah (usia 15 tahun) pemahaman membaca peserta didik (selain matematika dan sains) diuji oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD— Organization for Economic Cooperation and Development) dalam Programme for International Student Assessment (PISA). Dalam PIRLS 2011 International Results in Reading , Indonesia menduduki peringkat ke-45 dari 48 negara peserta dengan skor 428 dari skor rata-rata 500 (IEA, 2012). Sementara itu, uji literasi membaca dalam PISA 2009 menunjukkan peserta didik Indonesia berada pada peringkat ke-57 dengan skor 396 (skor rata-rata OECD 493), sedangkan PISA 2012 menunjukkan peserta didik Indonesia berada pada peringkat ke-64 dengan skor 396 (skor ratarata OECD 496) (OECD, 2013) dari 65 negara yang berpartisipasi. Data PIRLS dan PISA, khususnya dalam keterampilan memahami bacaan, menunjukkan bahwa kompetensi peserta didik Indonesia tergolong rendah.
Rendahnya
keterampilan tersebut membuktikan bahwa proses pendidikan belum mengembangkan
kompetensi dan minat peserta didik terhadap pengetahuan. Praktik pendidikan
yang dilaksanakan di sekolah selama ini juga memperlihatkan bahwa sekolah belum
berfungsi sebagai organisasi pembelajaran yang menjadikan semua warganya
sebagai pembelajar sepanjang hayat. Untuk mengembangkan sekolah sebagai
organisasi pembelajaran, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengembangkan
Gerakan Literasi Sekolah (GLS). GLS adalah upaya menyeluruh yang melibatkan
semua warga sekolah (guru, peserta didik, orang tua/wali murid) dan masyarakat,
sebagai bagian dari ekosistem pendidikan. Gerakan Literasi Sekolah memperkuat
gerakan penumbuhan budi pekerti sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015. Salah satu kegiatan di dalam
gerakan tersebut adalah “kegiatan 15 menit membaca buku nonpelajaran sebelum
waktu belajar dimulai”. Kegiatan ini dilaksanakan untuk menumbuhkan minat baca
peserta didik serta meningkatkan keterampilan membaca agar pengetahuan dapat
dikuasai secara lebih baik. Materi baca berisi nilai-nilai budi pekerti, berupa
kearifan lokal, nasional, dan global yang disampaikan sesuai tahap perkembangan
peserta didik.
Terobosan
penting ini hendaknya melibatkan semua pemangku kepentingan di bidang
pendidikan, mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga satuan
pendidikan. Pelibatan orang tua peserta didik dan masyarakat juga menjadi
komponen penting dalam GLS. Keterampilan membaca berperan penting dalam
kehidupan kita karena pengetahuan diperoleh melalui membaca. Oleh karena itu,
keterampilan ini harus dikuasai peserta didik dengan baik sejak dini.
Pengertian
Literasi
Pengertian
Literasi dalam konteks Gerakan Literasi Sekolah adalah kemampuan mengakses,
memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas
antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan/atau berbicara. Gerakan
Literasi Sekolah (GLS) merupakan sebuah upaya yang dilakukan secara menyeluruh
untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang warganya literat
sepanjang hayat melalui pelibatan publik.
Literasi
lebih dari sekadar membaca dan menulis, namun mencakup keterampilan berpikir
menggunakan sumber-sumber pengetahuan dalam bentuk cetak, visual, digital, dan
auditori. Di abad 21 ini, kemampuan ini disebut sebagai literasi informasi. Ferguson
(www.bibliotech.us/pdfs/InfoLit.pdf) menjabarkan komponen literasi informasi
sebagai berikut:
1.
Literasi Dasar (Basic
Literacy), yaitu kemampuan untuk mendengarkan, berbicara, membaca, menulis,
dan menghitung. Dalam literasi dasar, kemampuan untuk mendengarkan, berbicara,
membaca, menulis, dan menghitung (counting) berkaitan dengan kemampuan
analisis untuk memperhitungkan (calculating), mempersepsikan informasi (perceiving),
mengomunikasikan, serta menggambarkan informasi (drawing) berdasar
pemahaman dan pengambilan kesimpulan pribadi.
2.
Literasi Perpustakaan
(Library Literacy), yaitu kemampuan lanjutan untuk bisa mengoptimalkan
Literasi Perpustakaan yang ada. Maksudnya, pemahaman tentang keberadaan
perpustakaan sebagai salah satu akses mendapatkan informasi. Pada dasarnya
literasi perpustakaan, antara lain, memberikan pemahaman cara membedakan bacaan
fiksi dan nonfiksi, memanfaatkan koleksi referensi dan periodikal, memahami Dewey
Decimal System sebagai klasifikasi pengetahuan yang memudahkan dalam
menggunakan perpustakaan, memahami penggunaan katalog dan pengindeksan, hingga
memiliki pengetahuan dalam memahami informasi ketika sedang menyelesaikan
sebuah tulisan, penelitian, pekerjaan, atau mengatasi masalah.
3.
Literasi Media (Media
Literacy), yaitu kemampuan untuk mengetahui berbagai bentuk media yang
berbeda, seperti media cetak, media
elektronik (media radio, media televisi), media digital (media internet), dan
memahami tujuan penggunaannya. Secara gamblang saat ini bisa dilihat di
masyarakat kita bahwa media lebih sebagai hiburan semata. Kita belum terlalu
jauh memanfaatkan media sebagai alat untuk pemenuhan informasi tentang
pengetahuan dan memberikan persepsi positif dalam menambah pengetahuan.
4.
Literasi Teknologi (Technology
Literacy), yaitu kemampuan memahami kelengkapan yang mengikuti teknologi
seperti peranti keras (hardware), peranti lunak (software), serta
etika dan etiket dalam memanfaatkan teknologi. Berikutnya, dapat memahami
teknologi untuk mencetak, mempresentasikan, dan mengakses internet. Dalam
praktiknya, juga pemahaman menggunakan komputer (Computer Literacy) yang
di dalamnya mencakup menghidupkan dan mematikan komputer, menyimpan dan
mengelola data, serta menjalankan program perangkat lunak. Sejalan dengan
membanjirnya informasi karena perkembangan teknologi saat ini, diperlukan
pemahaman yang baik dalam mengelola informasi yang dibutuhkan masyarakat.
5.
Literasi Visual (Visual
Literacy), adalah pemahaman tingkat lanjut antara literasi media dan
literasi teknologi, yang mengembangkan kemampuan dan kebutuhan belajar dengan
memanfaatkan materi visual dan audio-visual secara kritis dan bermartabat.
Tafsir terhadap materi visual yang setiap hari membanjiri kita, baik dalam
bentuk tercetak, di televisi maupun internet, haruslah terkelola dengan baik.
Bagaimanapun di dalamnya banyak manipulasi dan hiburan yang benar-benar perlu
disaring berdasarkan etika dan kepatutan.
Strategi
Membangun Budaya Literasi di Sekolah
Strategi untuk membangun budaya literasi di sekolah antara lain
adalah:
1.
Mengkondisikan lingkungan fisik ramah literasi. Sekolah yang mendukung pengembangan budaya literasi
sebaiknya memajang karya peserta didik dipajang di seluruh area sekolah,
termasuk koridor, kantor kepala sekolah dan guru.
2.
Mengupayakan lingkungan sosial dan afektif sebagai model komunikasi dan
interaksi yang literat. Literasi
diharapkan dapat mewarnai semua perayaan penting di sepanjang tahun pelajaran.
Ini bisa direalisasikan dalam bentuk festival buku, lomba poster, mendongeng,
karnaval tokoh buku cerita, dan sebagainya.
3.
Mengupayakan sekolah sebagai lingkungan akademik yang literat. Sekolah sebaiknya memberikan alokasi waktu yang cukup
banyak untuk pembelajaran literasi. Salah satunya dengan menjalankan kegiatan
membaca dalam hati dan guru membacakan buku dengan nyaring selama 15 menit
sebelum pelajaran berlangsung.
Tahap pelaksanaan Gerakan Literasi Sekolah
Tahap pelaksanaan Gerakan Literasi Sekolah
Program
Gerakan Literasi Sekolah dilaksanakan secara bertahap dengan mempertimbangkan
kesiapan sekolah di seluruh Indonesia. Kesiapan ini mencakup kesiapan kapasitas
sekolah (ketersediaan fasilitas, bahan bacaan, sarana, prasarana literasi),
kesiapan warga sekolah, dan kesiapan sistem pendukung lainnya (partisipasi
publik, dukungan kelembagaan, dan perangkat kebijakan yang relevan). Untuk
memastikan keberlangsungannya dalam jangka panjang.
1. Gerakan Literasi
Sekolah (GLS) dilaksanakan dengan tahap pertama adalah tahap pembiasaan, belum
ada tagihan. Ada pun kegiatan pada tahap pembiasaan ini adalah:
a. Lima belas menit menit membaca setiap hari sebelum jam pelajaran melalui kegiatan membacakan buku dengan nyaring (read aloud) atau seluruh warga sekolah membaca dalam hati (sustained silent reading).
b. Membangun lingkungan fisik sekolah yang kaya literasi, antara lain: menyediakan perpustakaan sekolah, sudut baca, dan area baca yang nyaman; pengembangan sarana lain (UKS, kantin, kebun sekolah); dan penyediaan koleksi teks cetak, visual, dan/atau digital yang mudah diakses oleh seluruh warga sekolah; dan pembuatan bahan kaya teks (print-rich materials).
2. Tahap kedua adalah Pengembangan, ada tagihan sederhana nonakademik. Kegiatan pada tahap kedua ini dapat berupa :
a. Lima belas menit membaca setiap hari sebelum jam pelajaran melalui kegiatan membacakan buku dengan nyaring, membaca dalam hati, membaca bersama, dan/atau membaca terpandu diikuti kegiatan lain dengan tagihan non-akademik, contoh: membuat peta cerita (story map), menggunanakan graphic organizers, bincang buku.
b. Mengembangkan lingkungan fisik, sosial, afektif sekolah yang kaya literasi dan menciptakan ekosistem sekolah yang menghargai keterbukaan dan kegemaran terhadap pengetahuan dengan berbagai kegiatan, antara lain:
1) memberikan penghargaan kepada pencapaian perilaku positif, kepedulian sosial, dan semangat belajar peserta didik; penghargaan ini dapat dilakukan pada setiap upacara bendera Hari Senin dan/atau peringatan lain;
2) membentuk TLS yang terdiri atas guru bahasa, guru mapel lainnya dan tenaga kependidikan;
c. kegiatan-kegiatan akademik lain yang mendukung terciptanya budaya literasi di sekolah (belajar di kebun sekolah, belajar di lingkungan luar sekolah, wisata perpustakaan kota/daerah dan taman bacaan masyarakat, dll.).Pengembangan kemampuan literasi melalui kegiatan di perpustakaan sekolah/perpustakaan kota/ daerah atau taman bacaan masyarakat atau sudut baca kelas dengan berbagai kegiatan, antara lain:
1) membacakan buku dengan nyaring, membaca dalam hati membaca bersama (shared reading), membaca terpandu (guided reading), menonton film pendek, dan/atau membaca teks visual/digital (materi dari internet);
2) peserta didik merespon teks (cetak/visual/digital), fiksi dan nonfiksi, melalui beberapa kegiatan, antara lain: menggambar; menceritakan ulang isi teks dengan bahasa yang sederhana dan kreatif, sesuai kemampuannya; bermain peran/drama; berkarya membuat sesuatu (craft); menulis ulasan dalam bentuk narasi, fiksi, puisi, surat kepada tokoh dalam bacaan, teks deskriptif, teks analitis, atau teks argumentatif, sesuai kemampuannya; melakukan penelitian secara individual dan kelompok, yang dalam kegiatan- nya, peserta didik dapat mengeksplorasi teks lain yang relevan dan melakukan pendalaman melalui wawancara, diskusi, membuat angket sederhana, dan lain-lain.

a. Lima belas menit menit membaca setiap hari sebelum jam pelajaran melalui kegiatan membacakan buku dengan nyaring (read aloud) atau seluruh warga sekolah membaca dalam hati (sustained silent reading).
b. Membangun lingkungan fisik sekolah yang kaya literasi, antara lain: menyediakan perpustakaan sekolah, sudut baca, dan area baca yang nyaman; pengembangan sarana lain (UKS, kantin, kebun sekolah); dan penyediaan koleksi teks cetak, visual, dan/atau digital yang mudah diakses oleh seluruh warga sekolah; dan pembuatan bahan kaya teks (print-rich materials).
2. Tahap kedua adalah Pengembangan, ada tagihan sederhana nonakademik. Kegiatan pada tahap kedua ini dapat berupa :
a. Lima belas menit membaca setiap hari sebelum jam pelajaran melalui kegiatan membacakan buku dengan nyaring, membaca dalam hati, membaca bersama, dan/atau membaca terpandu diikuti kegiatan lain dengan tagihan non-akademik, contoh: membuat peta cerita (story map), menggunanakan graphic organizers, bincang buku.
b. Mengembangkan lingkungan fisik, sosial, afektif sekolah yang kaya literasi dan menciptakan ekosistem sekolah yang menghargai keterbukaan dan kegemaran terhadap pengetahuan dengan berbagai kegiatan, antara lain:
1) memberikan penghargaan kepada pencapaian perilaku positif, kepedulian sosial, dan semangat belajar peserta didik; penghargaan ini dapat dilakukan pada setiap upacara bendera Hari Senin dan/atau peringatan lain;
2) membentuk TLS yang terdiri atas guru bahasa, guru mapel lainnya dan tenaga kependidikan;
c. kegiatan-kegiatan akademik lain yang mendukung terciptanya budaya literasi di sekolah (belajar di kebun sekolah, belajar di lingkungan luar sekolah, wisata perpustakaan kota/daerah dan taman bacaan masyarakat, dll.).Pengembangan kemampuan literasi melalui kegiatan di perpustakaan sekolah/perpustakaan kota/ daerah atau taman bacaan masyarakat atau sudut baca kelas dengan berbagai kegiatan, antara lain:
1) membacakan buku dengan nyaring, membaca dalam hati membaca bersama (shared reading), membaca terpandu (guided reading), menonton film pendek, dan/atau membaca teks visual/digital (materi dari internet);
2) peserta didik merespon teks (cetak/visual/digital), fiksi dan nonfiksi, melalui beberapa kegiatan, antara lain: menggambar; menceritakan ulang isi teks dengan bahasa yang sederhana dan kreatif, sesuai kemampuannya; bermain peran/drama; berkarya membuat sesuatu (craft); menulis ulasan dalam bentuk narasi, fiksi, puisi, surat kepada tokoh dalam bacaan, teks deskriptif, teks analitis, atau teks argumentatif, sesuai kemampuannya; melakukan penelitian secara individual dan kelompok, yang dalam kegiatan- nya, peserta didik dapat mengeksplorasi teks lain yang relevan dan melakukan pendalaman melalui wawancara, diskusi, membuat angket sederhana, dan lain-lain.
3.
Tahap ketiga adalah Pembelajaran,
sudah ada tagihan akademik. Ada pun kegiatannya dapat berupa :
a. Lima belas menit membaca setiap hari sebelum jam pelajaran melalui kegiatan membacakan buku dengan nyaring, membaca dalam hati, membaca bersama, dan/atau membaca terpandu diikuti kegi- atan lain dengan tagihan nonakademik atau akademik.
b. Kegiatan literasi dalam pembelajaran dengan tagihan akademik.
Melaksanakan berbagai strategi untuk memahami teks dalam semua mata pelajaran (misalnya, dengan
menggunakan graphic organizers).
c. Menggunakan lingkungan fisik, sosial afektif, dan akademik disertai beragam bacaan (cetak, visual, auditori, digital) yang kaya literasi di luar buku teks pelajaran untuk memperkaya pengetahuan dalam mata pelajaran.
a. Lima belas menit membaca setiap hari sebelum jam pelajaran melalui kegiatan membacakan buku dengan nyaring, membaca dalam hati, membaca bersama, dan/atau membaca terpandu diikuti kegi- atan lain dengan tagihan nonakademik atau akademik.
b. Kegiatan literasi dalam pembelajaran dengan tagihan akademik.
Melaksanakan berbagai strategi untuk memahami teks dalam semua mata pelajaran (misalnya, dengan
menggunakan graphic organizers).
c. Menggunakan lingkungan fisik, sosial afektif, dan akademik disertai beragam bacaan (cetak, visual, auditori, digital) yang kaya literasi di luar buku teks pelajaran untuk memperkaya pengetahuan dalam mata pelajaran.
Dari paparan di atas diharapkan peran
aktif para pemangku kepentingan, yaitu kepala sekolah, guru, tenaga pendidik,
dan pustakawan sangat berpengaruh untuk memfasilitasi pengembangan komponen
literasi peserta didik. Selain itu, diperlukan juga pendekatan cara
belajar-mengajar yang keberpihakannya jelas tertuju kepada komponen-komponen
literasi ini. Kesempatan peserta didik untuk terlibat dengan kelima komponen
literasi akan menentukan kesiapan peserta didik berinteraksi dengan literasi
visual. Sebagai langkah awal, dapat disimpulkan bahwa diperlukan perubahan
paradigma semua pemangku kepentingan untuk terciptanya lingkungan literasi ini.
Sehingga pada akhirnya nanti tercipta generasi emas Bangsa Indonesia pada ulang
tahun RI yang ke-100 pada tahun 2045. Amien.
Link Download:
1. Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
2. Buku Saku Gerakan Literasi Sekolah
3. Panduan Gerakan Literasi Sekolah
4. Penguatan Literasi dalam Pembelajaran
5. Presentasi Literasi
5. Permendikbud No 23 Tahun 2015 Tentang Penumbuhan Budi Pekerti
Link Download:
1. Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
2. Buku Saku Gerakan Literasi Sekolah
3. Panduan Gerakan Literasi Sekolah
4. Penguatan Literasi dalam Pembelajaran
5. Presentasi Literasi
5. Permendikbud No 23 Tahun 2015 Tentang Penumbuhan Budi Pekerti
0 comments:
Posting Komentar