Profil Guru pada Pendidikan 4.0
Keterampilan
yang harus dimiliki para pendidik untuk
menghadapi Revolusi Industri 4.0 adalah (Lase, 2019):
1.
Akrab dengan Teknologi
Dunia terus beruah dan berkembang.
Teknologi pun terus berkembang hingga banyak hal yang dulunya hanya dapat
dilakukan manusia, saat ini dapat dilakukan dengan alat saja. Tidak ada cara
lain untuk menghadapi tentangan perkembangan teknologi, selain kemauan untuk belajar
secara terus-menerus. Pendidik harus meng-upgrade pengetahuan dan
keterampilan dalam menggunakan teknologi. Perubahan yang sangat dinamis tidak
perlu dianggap sebagai sesuatu yang mengancam, namun perlu dihadapi secara
positif dengan belajar, beradaptasi, dan
bekerjasama dengan kolega.
2.
Kolaborasi
Kolaborasi antar pendidik
sangat diperlukan untuk merancang kurikulum pembelajaran Education 4.0.
Dinamika perubahan yang sangat dinamis di dunia membuat kurikulum belajar harus
terus-menerus diupgrade. Sharing pengalaman dan pengetahuan antar pendidik
akan memperkaya konten kurikulum dan inovasi Pendidikan lainnya.
3.
Sikap kreatif dan mau
mengambil resiko.
Kreativitas adalah salah
satu skill yang diperlukan oleh murid di abad ke-21. Namun demikian,
untuk mengembangkan kreativitas pada peserta didik, pendidik juga harus
kreatif. Kreativitas dibutuhkan oleh pendidik untuk menghasilkan konten
kurikulum, pendekatan, atau metode pembelajaran inovatif yang dapat menjadi
solusi penyelesaian masalah riil di lapangan. Guru tidak perlu terlalu takut
untuk melakukan kesalahan atau gagal dalam menerapkan inovasinya dalam
pembelajaran. Kekurangan pada inovasi adalah bahan yang dapat menjadi evaluasi
perbaikan nantinya.
4.
Guru harus mampu mendidik
secara holistik
Untuk membantu murid
mengembangkan pengetahuan, keterampilan sikap, emosi, dan nilai yang bermakna,
mendalam, dan awet, guru perlu menggunakan pendekatan holistik. Pendekatan
holistik didefinisikan sebagai pendekatan pegagogik yang berusaha untuk (a) mendukung
murid untuk belajar dan tumbuh pada segala aspek, kognitif, afektif, dan
psikomotor, (b) menyertakan berbagai metode pendidikan yang merangsang murid
untuk bereksplorasi secara personal dan membantu perserta didik untuk menghubungkan
apa yang dipelajari dengan konteks kehidupan sehari-hari, (c) membantu murid
untuk menemukan nilai-nilai hidup mereka dan menumbuhkan tanggungjawab pada sesame
dan masyarakat (Grauerholz, 2010).
Pendekatan holistik dalam
pendidikan dapat mendorong murid untuk belajar secara mendalam. Hal ini
disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya: Dalam pendekatan holistik, guru
harus mengenali aspek emosi, moral, spiritualitas, intelektualitas, dan
hambatan belajar setiap murid. Guru juga perlu melibatkan emosi, moral, dan
spiritualitas dalam pembelajaran. Guru yang holistik memandang kelas terdiri
dari murid dengan multi karakter. Murid berasal dari latar belakang yang sangat
beragam, intelegensi yang bervariasi, dan sifat yang bermacam-macam. Semuanya
itu terintegrasi dalam sebuah proses pembelajaran. Mengenali setiap
latar-belakang dan karakteristik murid penting untuk menyusun bahan ajar yang
relevan dan menarik murid untuk belajar lebih mendalam.
Ketimbang menjadi seorang
ahli (expert), guru lebih berperan sebagai fasilitator yang memastikan
muridnya mendapatkan pengalaman belajar. Selain itu, pendidik holistik harus
mampu mengajar secara profesional, memisahkan tugasnya dengan hidup pribadinya
(Friedrichs, 1987). Pendidik yang holistik juga memberikan ruang yang nyaman
bagi peserta didik untuk menyampaikan gagasan dan perasaannya secara terbuka.
Suara dan pengalaman dari
murid dapat menjadi bahan perbaikan konten kurikulum dan metode mengajar. Guru
yang holistik juga harus membantu murid untuk berpikir kritis melalui
pertanyaan, penyampaian masalah, dan berbagai kegiatan belajar lainnya.
Bentuk Pembelajaran pada Pendidikan 4.0
Menurut
Dunwill (Hussin, 2018) akan terdapat banyak perubahan tampilan kelas untuk
menghadapi revolusi industri 4.0. Perubahan tersebut meliputi adanya
tugas-tugas yang fleksibel untuk murid guna mengakomodasi berbagai macam gaya
belajar. MOOC (massive open online course) akan terus berkembang dan
disertakan dalam pembelajaran di sekolah maupun universitas. Teknologi pembelajaran seperti virtual
dan augmented reallity akan semakin banyak digunakan untuk mendukung efektifitas
pembelajaran.
1.
Blended Learning
Pada pendidikan formal,
baik menengah maupun tinggi, blended learning dapat digunakan sebagai
metode pembelajaran pada Education 4.0. Blended learning menggabungkan
E-learning dan tatap muka. Blended learning dinilai lebih efektif
ketimbang murni tatap muka atau E-learning saja (Garrison & Kanuka,
2004).
Pada blended learning,
materi yang bersifat teoritis dapat diberikan melalui platform belajar online
atau E-learning. Tatap muka tetap diperlukan untuk mendiskusikan
pesoalan yang ada selama belajar secara online. Kelas tatap muka tidak perlu
banyak membahas tentang teori tetapi murid diarahkan untuk mendapatkan
pengalaman langsung, seperti misalnya praktek atau eksperimen.
Untuk menyediakan materi E-learning
yang sesuai dengan kurikulum yang disusun, guru dapat memanfaatkan open
education resources yang sudah tersedia, atau pun merancang materi online course
sendiri.
Jika ingin menyusun online
course sendiri, institusi dapat membuat website E-learning sendiri
atau dapat memanfaatkan platform yang tersedia gratis seperti Google
Classroom, Schoology. Schoology memberikan fasilitas seperti ruang
pembuatan materi yang dapat dimodifikasi, link ke materi di luar, ruang komunikasi
guru dan murid, ruang diskusi kelas, fitur untuk mengupload proyek, dan fitur
evaluasi. Pendekatan inovatif dan fitur pada Schoology memfasilitasi
guru, murid, dan orang tua untuk membangun komunitas kolaboratif belajar untuk
memenuhi tujuan pendidikan pada Abad ke 21. Schoology juga diharapkan
dapat menjadi sarana penghubung dan kolaborasi antar stakeholder pendidikan
(Biswas, 2013).
2.
Open Education Resources
Open Education Resources telah
menjadi salah satu platform belajar online yang dapat diakses oleh banyak orang
untuk sumber belajar. Open Education Resources ini ada yang sifatnya sebagai
bagian dari pendidikan formal dan disediakan oleh sebuah lembaga pendidikan
formal, misalnya universitas.
Salah satu universitas yang
sudah lama memperkenalkan open education resources adalah MIT
(Massachusetts Institute of Technology) dengan MIT Open Course Ware
(OCW) (https://ocw.mit.edu/index.htm) yang diluncurkan sejak musim semi 2001.
Awalnya, MIT Open Course
Ware ini adalah adalah menjadi sarana berbagi bagi komunitas lokal. Pada
lingkungan kampus tradisional, tidak banyak profesor yang berkesempatan untuk
saling berbagi silabus dan materi perkuliahan. Jarang juga mereka melakukan
diskusi tentang metode pembelajaran. Namun dengan adanya MIT Open Course
Ware ini, profesor yang mengajar di MIT pun bisa melihat silabus, materi,
dan metode yang diberikan oleh profesor lain dengan mudah. Dampak dari
kemudahan akses ini adalah profesor dapat melakukan refleksi diri pada
pebelajran yang dia lakukan, dapat mencari referensi metode pembelajaran yang
lebih efektif dari profesor lain, dan dapat mengkorelasikan materi ajarnya
dengan mata kuliah lain terkait.
Saat ini, MIT Open
Course Ware telah digunakan oleh komunitas yang lebih luas. Bahkan materi
telah diterjemahkan ke beberapa bahasa selain Bahasa Inggris supaya dapat
dipakai secara lebih luas. MIT adalah universitas yang mempelopori proyek
kuliah online terbuka yang dapat diakses oleh setiap orang di berbagai negara. Open
education resource tidak mengikat secara institusional.
Setiap orang dapat belajar
tanpa adanya ikatan administrasi dan ijasah. Proyek Open Education Resources
telah berkembang pesat. Banyak universitas yang lain yang mengikuti langkah
MIT. Rice University juga telah mengembangkan open education resources
yang diberi nama Connextion. Pada tahun 2005, Utah State University juga
meluncurkan USU OCW. Beberapa universitas besar di Jepang yaitu Keio
University, Kyoto University, Osaka University, Tokyo Institute of Technology,
University of Tokyo, dan Waseda University berkolaborasi untuk membuat Japan
OCW Collaboration Group pada 13 Mei 2015 (Johnstone, 2005).
Revolusi industri 4.0 juga
telah sedikit menggeser pandangan tentang pentingnya pendidikan tinggi formal
dan lisensi/ijasah. Seperti diketahui saat ini, beberapa perusahaan seperti
Google dan Facebook telah mendeklarasikan bahwa mereka tidak lagi merekrut
talenta-talenta muda berdasarkan ijazah universitas yang dimilikinya, namun
berdasarkan kompetensi dan pengalaman yang dimiliki (Connley, 2018). Hal ini
berimbas pada semakin banyaknya online course yang menjadi platform
belajar informal yang lebih fleksibel bagi murid. setiap murid dapat melakukan
pengembangan diri dengan belajar hal yang diinginkan secara individual dengan
menggunakan bantuan platform belajar online.
3.
Knowledge Sharing Economy (KSE)
Kebutuhan akan self-directed
learning (pembelajaran individual) untuk pengembangan diri bahkan telah
dipandang sebagai kesempatan bisnis. Beberapa perusahaan menyediakan platform
berbayar untuk saling membagikan pengetahuan. Layanan berbayar yang menyediakan
jaringan sosial online untuk berbagi pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan
dikenal sebagai knowledge sharing economy (KSE) (Zhang, Jiang, Xiao,
& Cheng, 2018).
Adanya pandangan akan
pentingnya untuk mengembangkan diri seluasluasnya tanpa adanya Batasan terhadap
gelar, juga telah menarik orang untuk menggunakan platform KSE walaupun mereka perlu
mengeluarkan uang.
Uang yang dikeluarkan ini
dapat dipandang sebagai investasi layaknya apabila orang mengeluarkan uang
untuk menempuh pendidikan di universitas. Konsep “Paying for knowledge”
perlahan tapi pasti dapat diterima oleh para konsumen.
Di China, transaksi KSE
telah mengalami pertumbuhan 205% pada tahun 2017 (SIC, 2017) Beberapa vendor
yang menyediakan adalah Quora Knowledge Prize, Udemy, dan SkillShrae
yang berasal dari Amerika Serikat. Udemy menawarkan kelas online yang terdiri
dari berbagai bidang seperti IT, software, ilmu sosial matematika, sains,
teknik, markering, musik, dan sebagianya. Udemy juga merupakan platform
berbayar dimana setiap murid perlu membayar setiap course yang
diaksesnya (Udemy, 2020)
Skill Share mengusung konsep learning by doing, learning with other,
learning for the future. Saat ini terdapat banyak video materi belajar dari
berbagai bidang, akan tetapi masih didominasi oleh materi tentang desain, media,
komputasi, dan marketing (SkillShare, 2020)
Salah satu fitur yang
ditawarkan oleh Skill Share adalah Share project, setelah
menyelesaikan kegiatan pembelajaran, pembelajar dapat mengupload project yang
mereka buat, dibagikan ke komunitas, dan mendapatkan penilaian untuk perbaikan
dari komunitas belajar yang diikuti.
KSE memanfaatkan kebutuhan
akan long life learning. Orang-orang yang telah bekerja dapat melakukan
pengembangan diri dan upgrading kompetensi dengan mengikuti course yang
ada pada KSE. KSE bahkan menyediakan ilmu-ilmu baru seperti Data Science yang
belum tentu mudah ditemukan dalam pendidikan formal.
KSE dapat menyediakan berbagai
course yang up-to-date karena platform ini bekerjasama dengan
para professional yang bekerja pada bidang masing-masing untuk membagikan
pengalaman mereka dengan menjadi instructor.
KSE mungkin tidak memiliki guru bersertifikat sebagai pengajar, namun mereka
menawarkan platform yang mempertemukan orang yang ingin mensharingkan
pengetahuannya dengan orang yang ingin belajar secara online. Keuntungan dari
biaya yang dibayarkan oleh pengguna digunakan dibagi kepada para instructor
yang bergabung.
Di Indonesia sendiri,
meskipun belum banyak jumlahnya. Beberapa platform KSE sudah mulai bermunculan,
seperti Quipper dan Ruang Guru. Akan tetapi, platform ini
kebanyakan masih menyediakan konten yang berkaitan dengan materi ajar di
sekolah menengah saja.
Sumber:
Elisabeth Pratidhina, Education 4.0: Pergeseran pendidikan sebagai konsekuensi revolusi industri 4.0. Widya Mandala Catholic University Surabaya, Indonesia
0 comments:
Posting Komentar