Sebagai kepala sekolah, tentunya tidak akan terlepas dengan tugas supervisi akademik. Baik ketika kita memeriksa perangkat pembelajaran maupun ketika observasi pelaksanaan pembelajaran. Namun selama ini masih banyak dari kita kepala sekolah dan apa lagi guru yang menganggap kegiatan supervisi itu adalah mencari kesalahan dan sebatas administrasi. Sehingga guru menjadi takut ataupun antipati terhadap kegiatan supervisi ini. Maka untuk itu perlu kita memahami paradigma kegiatan supervisi untuk mencari solusi terhadap permasalahan yang ditemui guru dengan tujuan untuk membantu guru agar terwujud pembelajaran yang berpusat kepada peserta didik.
Supervisi akademik ini dilakukan untuk
memastikan pembelajaran yang berpihak pada murid sebagaimana tertuang dalam
standar proses pada Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar
Nasional Pendidikan Pasal 12 yaitu: (1)
Pelaksanaan pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b diselenggarakan
dalam suasana belajar yang: a. interaktif; b. inspiratif; c. menyenangkan; d. menantang; e. memotivasi Peserta Didik untuk berpartisipasi aktif; dan
f. memberikan ruang yang cukup bagi
prakarsa, kreativitas, kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan
fisik, serta psikologis Peserta Didik.
Jadi sebenarnya konsep supervisi yang
mengarah kepada peserta didik sudah lama digagas dalam pendidikan kita.
Oleh karena itu, penting kiranya bagi kita memastikan bahwa supervisi akademik yang kita jalankan benar-benar berfokus pada proses pembelajaran sebagaimana yang tertuang dalam standar proses tersebut. Selain bertujuan untuk memastikan pembelajaran yang berpihak pada murid, supervisi akademik juga bertujuan untuk pengembangan kompetensi diri dalam setiap pendidik di sekolah sebagaimana tertuang dalam standar tenaga kependidikan pada Standar Nasional Pendidikan pasal 20 ayat 2: Kriteria minimal kompetensi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
Rangkaian supervisi akademik ini digunakan kepala sekolah untuk mendorong ruang perbaikan dan pengembangan diri guru di sekolahnya. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, kepala sekolah seperti apakah yang dapat mendorong kita sebagai warga sekolah untuk selalu mengembangkan kompetensi diri dan senantiasa memiliki growth mindset, serta keberpihakan pada murid? Jawabannya adalah pemimpin sekolah yang dapat mengidentifikasi kebutuhan pengembangan kompetensi diri dan orang lain dengan menggunakan pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan tersebut.
Maka konsep yang digunakan seharusnya sesuai dengan hal di atas, yaitu dengan Pendekatan Coaching. Konsep ini sejalan dengan pemikiran filosofis pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan perkembangan pendidikan Abad ke-21. Anda akan menguatkan paradigma berpikir Among, prinsip coaching, kompetensi inti coaching, alur percakapan TIRTA dan supervisi akademik dengan paradigma berpikir coaching. Harapannya setelah mempelajari ini kepala sekolah ataupun guru dapat menguatkan perjalanan pembelajarannya menjadi seorang pemimpin pembelajaran. Pada akhirnya nanti akan menjadi seorang pemimpin pembelajar dan kepala sekolah yang berkualitas dan mandiri. Disamping itu metode coaching ini dapat juga diterapkan sesama guru.
Bagimana Paradigma Supervisi Saat Ini?
Supervisi akademik
merupakan tindakan bertujuan membantu guru dalam perencanaan,
pelaksanaan, penilaian, sampai tindak lanjut penilaian.
Pada kurikulum
merdeka, refleksi adalah hal yang tidak boleh ditinggalkan, baik oleh
siswa, guru, maupun kepala sekolah. Berdasarkan refleksi ini, sekolah dapat
merancang program, pelaksanaan, serta tindak lanjut supervisi.
Untuk itu, instrumen
yang digunakan dalam pelaksanaan supervisi pun dapat disesuaikan dengan
tujuan pembelajaran. Melalui standar tersebut, guru dapat merancang sendiri
instrumen supervisi agar sesuai dengan pembelajaran yang dilakukan. Perancangan
ini tentu saja disesuaikan dengan standar proses.
Pendekatan yang diawali dengan paradigma
berpikir yang memberdayakan adalah coaching sebagaimana
Whitmore (2003) ungkapkan bahwa coaching adalah kunci pembuka potensi
seseorang untuk memaksimalkan kinerjanya.
Apa itu Coaching?
Coaching
didefinisikan sebagai sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi,
berorientasi pada hasil dan sistematis, dimana coach memfasilitasi peningkatan
atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan
pribadi dari coachee (Grant, 1999).
Sedangkan
Whitmore (2003) mendefinisikan coaching sebagai kunci pembuka potensi
seseorang untuk untuk memaksimalkan kinerjanya. Coaching lebih kepada
membantu seseorang untuk belajar daripada mengajarinya.
Sejalan
dengan pendapat para ahli tersebut, International Coach Federation
mendefinisikan coaching sebagai“…bentuk kemitraan bersama klien
(coachee) untuk memaksimalkan potensi pribadi dan profesional yang dimilikinya
melalui proses yang menstimulasi dan mengeksplorasi pemikiran dan proses
kreatif.”
Selain coaching, ada beberapa metode
pengembangan diri yang lain yang bisa jadi sudah kita praktikan selama ini di sekolah
yaitu mentoring, konseling, fasilitasi dan training. Agar lebih memahami konsep coaching
secara lebih mendalam, ada baiknya kita juga menyelami perbedaan peran coaching
dengan metode-metode pengembangan diri tersebut. Untuk mengetahui perbedaan
peran tersebut, mari kita simak terlebih dahulu definisi dari masing-masing
metode pengembangan diri tersebut:
1.
Mentoring
Stone (2002)
mendefinisikan mentoring sebagai suatu proses dimana seorang teman, guru,
pelindung, atau pembimbing yang bijak dan penolong menggunakan pengalamannya
untuk membantu seseorang dalam mengatasi kesulitan dan mencegah bahaya.
Sedangkan Zachary (2002) menjelaskan bahwa mentoring memindahkan pengetahuan
tentang banyak hal, memfasilitasi perkembangan, mendorong pilihan yang bijak
dan membantu mentee untuk membuat perubahan.
2. Konseling
Gibson dan
Mitchell (2003) menyatakan bahwa konseling adalah hubungan bantuan antara
konselor dan klien yang difokuskan pada pertumbuhan pribadi dan penyesuaian
diri serta pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Sementara itu, Rogers
(1942) dalam Hendrarno, dkk (2003:24), menyatakan bahwa konseling merupakan
rangkaian-rangkaian kontak atau hubungan secara langsung dengan individu yang
tujuannya memberikan bantuan dalam merubah sikap dan tingkah lakunya.
3. Fasilitasi
Shwarz (1994) mendefinisikan fasilitasi sebagai sebuah proses
dimana seseorang yang dapat diterima oleh seluruh anggota kelompok, secara
substantif berdiri netral, dan tidak punya otoritas mengambil kebijakan,
melakukan intervensi untuk membantu kelompok memperbaiki cara-cara
mengidentifikasi dan menyelesaikan berbagai masalah, serta membuat keputusan,
agar bisa meningkatkan efektivitas kelompok itu.
4. Training
Training menurut Noe, Hollenbeck, Gerhart
& Wright (2003) merupakan suatu usaha yang terencana untuk memfasilitasi
pembelajaran tentang pekerjaan yang berkaitan dengan pengetahuan, keahlian dan
perilaku oleh para pegawai.
Perbedaan antara mentoring,
konseling, fasilitasi dan training dapat dilihat pada tabel di bawah
ini:
Seperti Apa
Konsep Coaching dalam Konteks Pendidikan?
Dalam ruang
kemerdekaan belajar, proses coaching juga merupakan proses untuk
mengaktivasi kerja otak coach dan coachee. Pertanyaan-pertanyaan
reflektif dalam dapat membuat coachee
melakukan metakognisi. Selain itu, pertanyaan-pertanyaan dalam proses coaching
juga mendorong coachee berpikir secara kritis dan mendalam yang bermuara
pada coachee dapat menemukan kekuatan diri dan potensinya untuk terus
dikembangkan secara berkesinambungan atau menjadi seorang pembelajar sepanjang
hayat.
Pengembangan kekuatan dan potensi diri inilah yang menjadi tugas seorang coach (pendidik/pamong).
Apakah pengembangan diri seorang coachee cepat, perlahan-lahan atau
bahkan berhenti adalah tanggung jawab seorang coachee.
Pengembangan diri baik seorang coach atau
coachee dapat dimaksimalkan dengan proses coaching.
Coaching, sebagaimana telah dijelaskan
pengertiannya dari awal memiliki peran
yang sangat penting karena dapat digunakan
untuk menggali potensi diri sekaligus mengembangkannya dengan berbagai strategi
yang disepakati bersama. Proses coaching
yang berhasil akan menghasilkan
kekuatan bagi coach dan coachee untuk mengembangkan diri secara
berkesinambungan.
Paradigma Berpikir Coaching
Bapak/Ibu Calon Guru Penggerak, untuk dapat membantu
rekan sejawat kita untuk mengembangkan kompetensi diri mereka dan menjadi
otonom, kita perlu memiliki paradigma berpikir coaching terlebih dahulu.
Paradigma tersebut adalah:
1. Fokus
pada coachee/rekan yang akan dikembangkan
Paradigma berpikir yang pertama
adalah fokus pada coachee atau rekan sejawat yang akan kita kembangkan. Pada
saat kita mengembangkan kompetensi rekan sejawat kita, kita memusatkan
perhatian kita pada rekan yang kita kembangkan, bukan pada "situasi"
yang dibawanya dalam percakapan. Fokus diletakkan pada topik apa pun yang dibawa
oleh rekan tersebut, dapat membawa kemajuan pada mereka, sesuai keinginan mereka.
2. Bersikap
terbuka dan ingin tahu
Agar kita dapat bersikap terbuka,
kita perlu selalu berpikir netral terhadap apa pun yang dikatakan atau
dilakukan rekan kita. Jika ada penghakiman atau asumsi yang muncul di pikiran
kita atas jawaban rekan kita, maka kita mengubah pikiran tersebut dalam bentuk
pertanyaan untuk mengonfirmasi penghakiman atau asumsi itu secara hati-hati.
3. Memiliki
kesadaran diri yang kuat
Kesadaran diri yang kuat membantu
kita untuk bisa menangkap adanya perubahan yang terjadi selama
pembicaraan dengan rekan sejawat. Kita perlu mampu menangkap adanya emosi/energi
yang timbul dan mempengaruhi percakapan, baik dari dalam diri sendiri maupun
dari rekan kita. Kompetensi yang merupakan perwujudan dari paradigma berpikir
ini akan kita pelajari lebih lanjut di bagian kompetensi Coaching.
4. Mampu
melihat peluang baru dan masa depan
Kita harus mampu melihat peluang
perkembangan yang ada dan juga bisa membawa rekan kita melihat masa depan.
Coaching mendorong seseorang untuk fokus pada masa depan, karena apapun
situasinya saat ini, yang masih bisa diubah adalah masa depan. Coaching juga
mendorong seseorang untuk fokus pada solusi, bukan pada masalah, karena pada
saat kita berfokus pada solusi, kita menjadi lebih bersemangat dibandingkan
jika kita berfokus pada masalah.
Prinsip Coaching
Prinsip coaching dikembangkan dari
tiga kata/frasa kunci pada definisi coaching, yaitu “kemitraan, proses
kreatif, dan memaksimalkan potensi”. Dalam berinteraksi dengan rekan sejawat
atau siapa saja, kita dapat menggunakan ketiga prinsip coaching tersebut
dalam rangka memberdayakan orang yang sedang kita ajak berinteraksi.
Berikut adalah penjelasan ketiga prinsip
tersebut.
1. Kemitraan
Prinsip
coaching yang pertama adalah kemitraan. Dalam coaching, posisi coach
terhadap coachee-nya adalah mitra. Itu berarti setara, tidak ada
yang lebih tinggi maupun lebih rendah. Coachee adalah sumber belajar
bagi dirinya sendiri. Coach merupakan rekan berpikir bagi coachee-nya
dalam membantu coachee belajar dari dirinya sendiri. Coach bisa
berbagi mengenai pengalamannya yang terkait dengan topik pengembangan coachee,
jika diminta oleh coachee, sebagai salah satu sumber belajar bagi coachee.
Kemitraan ini
diwujudkan dengan cara kita membangun kesetaraan dengan orang yang akan
kita kembangkan, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah di antara keduanya.
Kesetaraan dapat dibangun dengan cara menumbuhkan rasa percaya diri kita, pada
saat kita akan mengembangkan rekan sejawat yang lebih tua, lebih senior, dan
atau lebih berpengalaman. Sebaliknya, kita perlu menumbuhkan rasa rendah hati pada
saat rekan sejawat yang akan kita kembangkan adalah rekan yang lebih muda, lebih
junior, dan atau memiliki pengalaman yang lebih sedikit dari kita.
Kemitraan dalam
mengembangkan rekan sejawat, juga ditunjukkan dengan cara mengedepankan
tujuan rekan yang akan kita kembangkan. Tujuan pengembangan ditetapkan oleh
rekan yang yang akan dikembangkan, bukan oleh kita, yang akan membantu
pengembangan tersebut. Mengapa? Dengan demikian, harapannya rekan yang kita
kembangkan akan lebih merasa termotivasi dan berkomitmen dalam prosesnya.
2. Proses Kreatif
Coaching adalah proses mengantarkan seseorang
dari situasi dia saat ini ke situasi ideal yang diinginkan di masa depan. Hal
ini tergambar dalam prinsip coaching yang kedua, yaitu proses kreatif. Pada
saat kita menggunakan prinsip coaching dalam mengembangkan kompetensi
diri rekan sejawat, maka percakapan yang berlangsung adalah dua arah. Yang kita
lakukan adalah mendengarkan rekan kita dan kemudian melontarkan pertanyaan
untuk membantu rekan kita untuk lebih memahami situasi dirinya, situasi ideal
yang dia inginkan, serta langkah-langkah untuk membawa dia dari situasi dia
saat ini ke situasi ideal yang dia inginkan.
Prinsip ini
dapat membantu seseorang untuk menjadi otonom karena dalam prosesnya orang yang
dikembangkan perlu untuk berpikir ke dalam dirinya untuk mendapat kesadaran
diri akan situasinya dan kemudian menemukan langkah-langkah apa yang perlu
dilakukan untuk mengembangkan kompetensi dirinya. Berikut adalah percakapan
yang menggambarkan proses kreatif antara seorang guru yang membantu rekan
sejawatnya dalam mengembangkan kompetensi dirinya.
3. Memaksimalkan Potensi
Prinsip coaching yang ketiga adalah memaksimalkan potensi. Untuk memaksimalkan potensi dan memberdayakan rekan sejawat, percakapan perlu diakhiri dengan suatu rencana tindak lanjut yang diputuskan oleh rekan yang dikembangkan, yang paling mungkin dilakukan dan paling besar kemungkinan berhasilnya. Selain itu juga, percakapan ditutup dengan kesimpulan yang dinyatakan oleh rekan yang sedang dikembangkan.
Kompetensi Inti Coaching
Berikut ini adalah kompetensi inti coaching:
1. Kehadiran Penuh/Presence
Kehadiran penuh/presence
adalah kemampuan untuk bisa hadir utuh bagi coachee, atau di dalam coaching
disebut sebagai coaching presence sehingga badan, pikiran, hati selaras
saat sedang melakukan percakapan coaching. Kehadiran penuh ini adalah bagian dari
kesadaran diri yang akan membantu munculnya paradigma berpikir dan kompetensi
lain saat kita melakukan percakapan coaching.
Menghadirkan
diri sepenuhnya atau presence penting dilatih agar kita bisa selalu fokus
untuk bersikap terbuka, sabar, ingin tahu lebih banyak tentang coachee. Kompetensi ini penting untuk
dihadirkan sebelum dan selama percakapan coaching dilakukan.
Penting diingat
tidak ada satu cara yang terbaik untuk semuanya karena setiap orang memiliki
caranya masing-masing untuk dapat menghadirkan presence. Untuk itu temukan cara yang paling efektif
untuk Bapak/Ibu agar bisa terus melatih diri dan menerapkannya sebelum dan
selama melakukan percakapan coaching.
2. Mendengarkan Aktif
Salah satu
keterampilan utama dalam coaching adalah keterampilan mendengarkan
dengan aktif atau sering kita sebut dengan menyimak. Seorang coach yang baik akan
mendengarkan lebih banyak dan lebih sedikit berbicara. Dalam percakapan coaching, fokus dan
pusat komunikasi adalah pada diri coachee, yakni mitra bicara. Dalam hal ini, seorang coach harus
dapat mengesampingkan agenda pribadi atau apa yang ada di pikirannya termasuk
penilaian terhadap coachee.
Kemampuan
mendengarkan aktif atau menyimak perlu dilatih untuk fokus pada apa yang
dikatakan oleh coachee dan memahami keseluruhan makna yang bahkan tidak terucapkan.
Ada tiga hal yang biasanya menghambat kita mendengarkan aktif, yaitu:
Asumsi, sudah mempunyai anggapan tertentu tentang suatu situasi yang belum tentu benar.
Melabel/Judgment, memberi label/penilaian pada seseorang dalam situasi tertentu. Memberi label/penilaian bisa terjadi sebelum dan pada saat coaching dilakukan.
Asosiasi: mengaitkan dengan pengalaman pribadi.
Pada saat coachee
menceritakan sebuah kejadian yang dia alami, kemudian kita teringat dengan
kejadian yang kita alami, pada saat itu potensi asosiasi muncul. Potensi
tersebut dapat menjadi asosiasi pada saat kita mulai mengaitkannya dengan
pengalaman pribadi kita. Pada saat kita terbawa pada asosiasi kita, percakapan
kita dengan coachee akan berpotensi mengacu kepada pengalaman kita.
Perilaku yang muncul pada kita bisa jadi dalam bentuk pertanyaan yang
mengarahkan atau kecenderungan untuk menasehati.
Pada saat
asosiasi muncul, yang perlu kita lakukan adalah menyadarinya dan kemudian
kembali fokus kepada coachee dengan cara mengingatkan diri kita bahwa
percakapan ini adalah tentang coachee, kejadian yang pernah kita alami,
tidak penting/relevan dalam percakapan ini.
Selain itu, yang
perlu kita sadari juga adalah asosiasi ini bisa membuat kita menjadi terbawa
emosi yang sedang dirasakan oleh coachee. Pada saat ini terjadi, maka
kita perlu “melepaskan” diri dari emosi tersebut dan berusaha mengembalikan
emosi kita ke posisi netral, agar kita tetap bisa menjadi rekan berpikir coachee
kita.
3. Mengajukan Pertanyaan Berbobot
Dalam melakukan
percakapan coaching ketrampilan kunci lainnya adalah mengajukan
pertanyaan dengan tujuan tertentu atau pertanyaan berbobot. Pertanyaan yang diajukan seorang coach
diharapkan menggugah orang untuk berpikir dan dapat menstimulasi pemikiran coachee,
memunculkan hal-hal yang mungkin belum terpikirkan sebelumnya,
mengungkapkan emosi atau nilai dalam diri dan yang dapat mendorong coachee untuk
membuat sebuah aksi bagi pengembangan diri dan kompetensi.
Setelah
mempelajari bagaimana mendengarkan aktif, berikut ini adalah salah satu
referensi yang dapat kita gunakan untuk mengajukan pertanyaan berbobot hasil dari
mendengarkan aktif yaitu RASA yang diperkenalkan oleh Julian Treasure.
RASA merupakan akronim dari Receive,
Appreciate, Summarize, dan Ask yang akan dijelaskan
sebagai berikut:
R (Receive/Terima), yang berarti menerima/mendengarkan
semua informasi yang disampaikan coachee.
Perhatikan kata kunci yang diucapkan.
A (Appreciate/Apresiasi), yaitu memberikan apresiasi dengan
merespon atau memberikan tanda bahwa kita mendengarkan coachee. Respon yang diberikan bisa dengan anggukan,
dengan kontak mata atau melontarkan “oh…” “ya…”. Bentuk apresiasi akan muncul saat kita
memberikan perhatian dan hadir sepenuhnya pada coachee tidak terganggu
dengan situasi lain atau sibuk mencatat.
S (Summarize/Merangkum), saat coachee selesai
bercerita rangkum untuk memastikan pemahaman kita sama. Perhatikan dan gunakan kata kunci yang
diucapkan coachee. Saat merangkum bisa gunakan potongan-potongan
informasi yang telah didapatkan dari percakapan sebelumnya. Minta coachee untuk konfirmasi apakah
rangkuman sudah sesuai Setelah merangkum apa yang disampaikan coachee
bagian terakhir adalah
A (Ask/Tanya). Sama dengan apa yang sudah disampaikan sebelumnya terkait kiat mengajukan pertanyaan berbobot berikut ini adalah hal-hal yang perlu diperhatikan saat mengajukan pertanyaan:
a. ajukan pertanyaan berdasarkan apa yang didengar dan hasil merangkum (summarizing)
b. ajukan pertanyaan yang membuat pemahaman coachee lebih dalam tentang situasinya
c. pertanyaan harus merupakan hasil mendengarkan yang mengandung penggalian atas kata kunci atau emosi yang sudah dikonfirmasi
d. dalam format pertanyaan terbuka: menggunakan apa, bagaimana, seberapa, kapan, siapa atau di mana
e. Hindari menggunakan pertanyaan tertutup: “mengapa” atau “apakah” atau “sudahkah”
Percakapan Berbasis Coaching
dengan Alur TIRTA
TIRTA
dikembangkan dari satu model umum coaching yang dikenal sangat luas dan
telah banyak diaplikasikan, yaitu GROW
model. GROW adalah kepanjangan dari Goal, Reality, Options
dan Will. Pada tahapan 1) Goal (Tujuan): coach perlu
mengetahui apa tujuan yang hendak dicapai coachee dari sesi coaching
ini, 2) Reality (Hal-hal yang nyata): proses menggali semua hal yang
terjadi pada diri coachee, 3) Options (Pilihan): coach
membantu coachee dalam memilah dan memilih hasil pemikiran selama sesi
yang nantinya akan dijadikan sebuah rancangan aksi. Will (Keinginan
untuk maju): komitmen coachee dalam membuat sebuah rencana aksi dan
menjalankannya.
Alur percakapan
coaching TIRTA dikembangkan dengan semangat Merdeka belajar yang membuat
kita memiliki paradigma berpikir, prinsip dan keterampilan coaching
untuk memfasilitasi rekan sejawat agar dapat belajar dari situasi yang dihadapi
dan membuat keputusan-keputusan bijaksana
secara mandiri. Hal ini penting mengingat
tujuan coaching yaitu untuk pengembangan diri dan membangun kemandirian.
Melalui alur percakapan coaching TIRTA, kita diharapkan dapat melakukan pendampingan
baik kepada rekan sejawat maupun muridnya.
Dari segi
bahasa, TIRTA berarti air. Air mengalir dari hulu ke hilir. Jika kita ibaratkan
murid kita adalah air, maka biarlah ia merdeka, mengalir lepas hingga ke hilir potensinya.
Sebagai seorang coach
salah satu peran terpentingnya adalah
membantu coachee menyadari potensi yang dimiliki untuk mengembangkan
kompetensi dirinya, dan menjadi mandiri melalui pendampingan yang mengedepankan
semangat memberdayakan.
TIRTA dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Tujuan Umum
(Tahap awal dimana kedua pihak coach dan coachee menyepakati tujuan
pembicaraan yang akan berlangsung. Idealnya tujuan ini datang dari coachee).
Dalam tujuan
umum, beberapa hal yang dapat coach rancang (dalam pikiran coach)
dan yang dapat ditanyakan kepada coachee diantaranya:
a.
Apa rencana pertemuan ini?
b.
Apa
tujuannya?
c.
Apa
tujuan dari pertemuan ini?
d.
Apa
definisi tujuan akhir yang diketahui?
e.
Apakah
ukuran keberhasilan pertemuan ini?
Seorang coach menanyakan kepada coachee tentang sebenarnya tujuan yang
ingin diraih
coachee.
2. Identifikasi (Coach melakukan penggalian dan pemetaan situasi yang sedang
dibicarakan, dan menghubungkan dengan fakta-fakta yang ada pada saat sesi).
Beberapa hal yang dapat
ditanyakan dalam tahap identifikasi ini diantaranya adalah:
a. Kesempatan apa yang Bapak/Ibu
miliki sekarang?
b. Dari skala 1 hingga 10, dimana
posisi Bapak/Ibu sekarang dalam pencapaian tujuan Anda?
c. Apa kekuatan Bapak/Ibu dalam
mencapai tujuan tersebut?
d. Peluang/kemungkinan apa yang bisa
Bapak/Ibu ambil?
e. Apa hambatan atau gangguan yang
dapat menghalangi Bapak/Ibu dalam meraih tujuan?
f. Apa solusinya?
3. Rencana Aksi (Pengembangan ide atau alternatif solusi untuk rencana yang
akan dibuat)
a. Apa rencana Ibu/bapak dalam
mencapai tujuan?
b. Adakah prioritas?
c. Apa strategi untuk itu?
d. Bagaimana jangka waktunya?
e. Apa ukuran keberhasilan rencana aksi Bapak/Ibu?
f. Bagaimana cara Bapak/Ibu mengantisipasi gangguan?
4. TAnggungjawab (Membuat komitmen atas hasil yang dicapai dan untuk
Langkah selanjutnya)
a. Apa komitmen Bapak/Ibu terhadap rencana aksi?
b. Siapa dan apa yang dapat membantu Bapak/Ibu dalam menjaga
komitmen?
c. Bagaimana dengan tindak lanjut dari sesi coaching ini?
Dengan
menjalankan alur TIRTA ini, harapannya seorang kepala sekolah dapat dapat
menjalankan percakapan berbasis coaching dengan lebih efektif dan
bermakna.
Kemdikburistek. 2022. Modul 2: Praktik Pembelajaran yang Berpihak pada Murid, Modul 2.3. Coaching untuk Supervisi Akademik. Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi
0 comments:
Posting Komentar