Slide 1

Berbagai macam moda pembelajaran

Slide 2

Literasi

Slide 3

Kegiatan Pramuka

Slide 4

Kerucut Pengalaman

Slide 5

Pembelajaran Aktif

Minggu, 03 Juni 2012

BENTUK DAN JENIS TES


Bentuk tes yang digunakan di sekolah dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu tes objektif dan tes non-objektif. Objektif di sini dilihat dari sistem penskorannya, yaitu siapa saja yang memeriksa lembar jawaban tes akan menghasilkan skor yang sama. Tes non-objektif adalah tes yang sistem penskorannya dipengaruhi oleh pemberi skor. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa tes objektif adalah tes yang sistem penskorannya objektif, sedang tes non-objektif sistem penskorannya dipengaruhi oleh subjektivitas pemberi skor.
Jenis-Jenis tes dilihat dari cara pelaksanaannya, tes dapat dibedakan  menjadi tes tertulis, tes lisan dan tes perbuatan. Tes tulisan bisa berupa tes esai dan tes objektif. Tes esai adalah bentuk tes dengan cara siswa diminta untuk menjawab pertanyaan secara terbuka yaitu menjelaskan atau menguraikan melalui kalimat yang disusun sendiri. Sementara tes objektif adalah bentuk tes yang mengharapkan siswa memilih jawaban yang sudah ditentukan, contoh; BS, tes pilihan ganda, menjodohkan, dan bentuk melengkapi. Tes perbuatan adalah tes dalam bentuk peragaan.
Berikut beberapa bentuk soal yang dipakai dalam sistem penilaian berbasis kompetensi. Bentuk soal tes yang dapat digunakan adalah sebagai berikut:
a.    Benar-Salah: Soal benar-salah merupakan salah satu dari tes bentuk objektif dimana butir-butir soal yang diajukan dalam tes prestasi belajar tersebut berupa pernyataan (statement), dimana dalam tes itu ada pernyataan yang benar dan ada pula pernyataan yang salah. Tugas peserta tes adalah membubuhkan tanda tertentu (simbol) atau mencoret huruf B, jika peserta tes yakin bahwa pernyataan yang diberikan tersebut benar. Sebaliknya mencoret huruf S jika peserta tes yakin bahwa pernyataan itu salah.
b.    Melengkapi: Soal  bentuk melengkapi merupakan salah satu bentuk tes objektif dengan ciri-ciri yaitu: a) tes tersebut terdiri dari susunan kalimat yang bagian-bagiannya sudah dihilangkan (sudah dihapuskan); b) bagian yang dihilangkan itu diganti dengan titik-titik (....); c) tugas peserta tes adalah mengisi titik-titik tersebut dengan jawaban yang sesuai (benar).

Kamis, 24 Mei 2012

PENDEKATAN ICARE

Oleh:
Adi Saputra, M.Pd
Dalam penyusunan perangkat pembelajaran tiap pelajaran untuk belajar aktif, digunakan satu kerangka yang sangat sederhana, yaitu disebut ICARE. Sistem ICARE mancakup lima elemen kunci suatu pengalaman belajar yang baik, yang dapat diterapkan terhadap peserta didik. Oleh karena itu, sistem ICARE sangat baik untuk diterapkan dalam proses belajar di sekolah. ICARE adalah singkatan dari: Introduction, Connection, Application, Reflection, dan Extension.Penggunaan sistem ICARE sangat memberi peluang kepada peserta didik untuk memiliki kesempatan mengaplikasikan apa yang telah mereka pelajari dalam pelatihan. Namun juga harus diingat bahwasanya perangkat tersebut harus memenuhi aturan sesuai dengan standar proses yang terdapat dalam Permendiknas no 41 tahun 2007. Dalam Permendiknas tersebut terdapat eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Di samping itu juga memasukkan pendidikan budaya karakter bangsa dan kewirausahaan. Berikut ini dijelaskan secara rinci kerangka ICARE. Di bawah tulisan ini terdapat link untuk downnload ebook yang berhubungan dengan materi ini. Semoga bermanfaat.

1.      I = Introduction (Pendahuluan)
Pada tahap pengalaman belajar ini guru atau fasilitator menetapkan materi pelajaran kepada peserta didik. Ini harus mencakup menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran, penjelasan tujuan pembelajaran, dan menyampaikan cakupan materi serta penjelasan uraian kegiatan sesuai silabus.

2.      C = Connection (Koneksi)
Koneksi merupakan tahap pengkaitan antara pengetahuan yang dimiliki peserta didik sebelumnya. Dalam banyak hal, proses belajar itu berurutan (sequential) dengan membangun suatu kompetensi di atas suatu kompetensi sebelumnya. Karena itu, semua pengalaman belajar yang baik harus dimulai dari apa yang peserta didik telah tahu dan dapat dilakukan serta dapat dibangun di atasnya. Pada tahap connection pembelajaran guru mencoba mengaitkan materi pembelajaran yang baru dengan pengalaman belajar sebelumnya. Guru dapat mencapainya dengan melakukan latihan brainstorming sederhana untuk mengenali apa yang telah diketahui peserta didik, dengan meminta peserta didik mengatakan kepada guru apa yang mereka ingat dari pembelajaran sebelumnya atau dengan mengembangkan suatu kegiatan yang dapat dilakukan peserta didik secara mandiri. Dengan mengikuti hal ini guru menghubungkan peserta didik dengan materi yang baru. Namun, yang perlu diperhatikan adalah bahwa tahap ini dilakukan tidak terlalu lama menghabiskan waktu. Paling lama waktu dugunakan sekitar sepuluh menit.

Selasa, 22 Mei 2012

PERKEMBANGAN PSIKOLOGI ANAK UNTUK GURU DAN ORANG TUA


PERKEMBANGAN PSIKOLOGI ANAK UNTUK GURU DAN ORANG TUA
Oleh:
Adi Saputra

            Sejak abad ke-20 mulai terjadi perubahan besar mengenai konsepsi pendidikan dan pengajaran. Perubahan tersebut membawa perubahan pula dalam cara-cara pembelajaran di sekolah. Dari cara pengajaran lama dimana siswa-siswa harus diajar dengan diberi pengetahuan sebanyak mungkin dalam berbagai mata pelajaran, berangsur-angsur beralih menuju ke arah penyelenggaraan sekolah progresif, sekolah kerja, sekolah pembangunan, dan sekolah yang menekankan pada keaktifan siswa di dalam pembalajaran. Mula-mula situasi pembelajaran di sekolah lebih menonjolkan peranan guru dengan tujuan untuk penguasaan materi pelajaran yang direncanakan oleh guru (teacher centre). Siswa lebih bersifat pasif dan hanya tinggal menerima apa yang disuguhkan oleh guru. Kurikulum sepenuhnya direncanakan dan disusun oleh guru atau sekolah tanpa mengikutsertakan siswa.
            Berdasarkan studi psikologi belajar yang baru serta sosiologi pendidikan, maka masyarakat pendidikan menghendaki agar pengajaran memperhatikan minat, kebutuhan, dan kesiapan siswa untuk belajar, serta dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial sekolah. Gagasan ini awalnya dikemukakan oleh John Dewey dengan “pendidikan progresif”, yang menggambarkan adanya situasi kebalikan dari kenyataan mula di mana guru sebagai penguasa dan sekarang siswa memegang tampuk kepemimpinan. Dengan perkataan lain jika dulu guru memegang otoritas, sekarang guru menjadi “pelayan” dari siswanya (student centre).
            Berdasarkan penjelasan di atas maka seharusnya guru atau orang tua untuk dapat memahami siswa atau anaknya. Proses memahami ini bertujuan agar guru atau orang tua bisa mengarahkan siswa atau anak untuk mencapai tujuan pembelajaran atau tujuan hidup yang sesuai dengan harapan yang dicita-citakan bersama. Sehingga pada akhirnya tidak terjadi rasa frustasi dari guru atau orang tua karena tidak dapat memahami siswa atau anaknya. Di samping itu juga untuk menghindari kasus “salah asuhan” terhadap anak.