Oleh:
Adi Saputra, M.Pd
Beberapa bulan ini merupakan masa
yang menyibukkan bagi dunia pendidikan di Indonesia, baik dari pusat mau pun di
daerah. Karena pada saat sekarang ini siswa, guru, sekolah, dinas pendidikan
kabupaten/kota, dan dinas pendidikan propinsi serta kementerian pendidikan
saling mempersiapkan diri dalam melaksanakan ujian nasional yang dilakukan dari
tingkat sekolah dasar sampai tingkat sekolah menengah atas. Ujian nasional
selalu menjadi sesuatu yang menakutkan bagi siswa mau pun pihak sekolah. Hal
ini bisa dilihat dari sibuknya pihak sekolah bersama siswa mengadakan
pemantapan, try out, sampai
mengadakan doa bersama semalam suntuk sebelum melaksanakan ujian nasional.
Agar sukses di dalam ujian nasional,
maka banyaklah perilaku negatif yang dilakukan oleh siswa, oknum guru, maupun
oknum dinas pendidikan di daerah. Di antaranya adalah: perilaku monyontek yang
dilakukan siswa; siswa sibuk mencari bocoran kunci semalam sebelum ujian; joki
ujian; pembiaran yang dilakukan oleh pengawas terhadap perilaku mencontek atau
membawa alat komunikasi ke dalam kelas; intervensi dinas pendidikan ke pengawas
atau pihak sekolah agar lulus seratus persen; dan kemungkinan manipulasi nilai
sekolah untuk membantu siswa agar lulus nantinya sesuai dengan formula baru
40-60. Di samping perilaku negatif tersebut juga ada perasaan terabaikan bagi
guru yang mata pelajarannya tidak masuk dalam ujian nasional. Jadi, seolah-olah
tujuan siswa untuk bersekolah hanya untuk dapat menjawab soal yang diberikan
pada saat ujian nasional atau dengan
kata lain “belajar demi persiapan ujian”.
Kalau kita hubungkan dengan
paradigma pendidikan, maka ciri-ciri yang disebutkan di atas merupakan
paradigma pendidikan yang berdasarkan kepada prestasi belajar. Paradigma ini
memandang tujuan pendidikan semata-mata untuk mendukung, mendorong, dan
menfasilitasi kemampuan siswa dalam meraih nilai tinggi dan nilai tes standar
(ujian nasional) dalam pelajaran sekolah, terutama pelajaran-pelajaran yang
termasuk bagian inti kurikulum. Jika kita melihat gejala yang ada sekarang ini,
maka sekolah pada umumnya menggunakan paradigma ini di dalam pembelajarannya.